Thursday, May 21, 2009

Asal-usul Sego Gono

Ini "tale story" yang konon menyertai asal-usul Sego Gono. Cerita ini aku dapat dari (siapa lagi kalo bukan..) Pak Antok Dharmanto, Pak Lurah gaul yang selalu aktif di milis Temanggung. Menurut Pak Antok, Sego Gono atau MEGONO itu berasal dari kata MErGO oNOne.
Konon katanya, pada jaman dahulu, ada sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi, yaitu Desa DADAPAN. Didesa itu tinggal seorang janda, sebut saja namanya Mbok Rondo Dadapan. Suatu saat datang musibah angin lesus yang kencang mengobrak-abrik seluruh isi desa. Rumah Mbok Rondo tidak luput dari amukan angin lesus ini. Pada saat angin datang, Mbok Rondo kebetulan sedang memasak nasi. Diatas liwetan nasi itu Mbok Rondho meletakkan segala macam lauk-pauk dan sayuran termasuk bothok teri rambangan dan lain sebagainya. Ketika angin datang, dan lewat diatas rumahnya, genteng rumah Mbok Rondho hancur berantakan dan jatuh menimpa nasi liwet yang ada dibawahnya. Akibatnya lauk pauk yang sedianya digunakan untuk teman makan nasi itu masuk ke dalam nasi liwetan.
Setelah angin reda, para warga mulai berbenah dan bergotong royong memperbaiki rumah yang hancur, termasuk rumah Mbok Rondo. Menjadi adat kebiasaan warga desa, apabila setelah bergotong royong maka para warga menyediakan makanan ala kadarnya kepada masyarakat yang bekerja. Karena Mbok Rondo cuma punya nasi dengan lauk pauk yang tumpah sudah diatasnya, maka nasi itupun diaduknya agar lauk pauknya tercampur rata. Jadilah nasi itu yang dihidangkan kepada para warga, MErGO oNOne mung kuwi (Karena adanya cuma itu) alias nggak punya lagi hidangan yang lain.
Nah... sejak saat itu setiap warga desa hendak memulai hajatan, gotong royong, membuka jalan atau irigasi desa, memulai tanam atau perayaan lain, Nasi MEGONO ini menjadi menu utama yang dihidangkan kepada warga...

Tuesday, May 19, 2009

Resep Bikin Sego Gono

Nikmatnya "Sego Gono", yang gurih tiada terkira ini akhirnya aku dapatkan dari ibuku.
Bahan :
- 1 kg beras
- 10 siung bawang merah
- 8 siung bawang putih
- cabe merah dan cabe rawit secukupnya, sesuai selera
- 5 lembar daun salam
- 1 batang serai
- seiris kulit jeruk purut (bisa juga daunnya)
- 2 ruas jari kencur
- lengkuas secukupnya
- parutan kelapa muda dari 1/2 butir kelapa
- 20 lembar kubis hijau diiris selebar 2 cm
- teri rambangan (bisa juga diganti rebon)
- 1 buah kembang combrang diiris halus
- Garam secukupnya
- Gula merah secukupnya
- Terasi secukupnya
- Tempe secukupnya, potong dadu

Cara memasak :
- Beras di masak dengan air secukupnya sampai setengah matang (dikaru : bhs Jawa)
- Sementara itu haluskan bumbu-bumbu : garam, bawang merah, bawang putih, kulit jeruk purut, kencur, cabai, terasi, dan gula merah.
- Campurkan bumbu yang sudah dihaluskan dengan parutan kelapa, sayuran, tempe dan teri. Masukkan daun salam, lengkuas dan serai.
- Setelah nasi siap, kukus nasi bersama campuran bumbu dan sayuran. Caranya ambil nasi setengah matang, buat lapisan nasi di dandang, lapisi atasnya dengan campuran sayuran, ambil nasi lagi, lapisi lagi sayuran diatasnya, begitu terus sampai habis
- Kukus nasi sampai matang, setelah matang, aduk Nasi Gono sampai sayur dan bumbu tercampur
- Sajikan hangat, bersama ikan asin petek yang digoreng, atau rempeyek teri/rebon dan kerupuk
- Selamat mencoba....

Catatan : (Jika tidak ada kubis hijau, bisa diganti dengan kacang panjang, kecuwis, atau buncis)

Sego Gono dan Ritual Menanam Tembakau


Dari obrolan tentang sego gono di milis ternyata nasi khas daerah Temanggung ini punya cerita yang dalam dibaliknya. Sego Gono, adalah makanan khas daerah kelahiranku. Nasi yang dimasak dengan campuran sayuran, tempe, teri dan kelapa parut, nikmat dan gurihnya masih aku ingat bener, walaupun sudah lama aku nggak memakannya. Biasanya setiap pagi jika ibuku tidak sempat menyiapkan sarapan, aku suka membeli Sego Gono ini sebagai sarapan pagiku. Waktu itu harga sepiringnya hanya Rp.25,-. Maklum aja.. jaman-jaman aku SD, tahun 70-an gitu segala masih murah. Dengan sepiring Sego Gono itu aku sudah bisa melenggang ke sekolah dengan energi yang berlimpah (kenyang banget... maksudnya....). Yang khas dari Sego Gono ini adalah sayuran kubis ijo atau kembang combrang yang dijadikan campuran didalamnya. Apalagi kalo makannya anget-anget ditengah sawah.. nikmat banget rasanya.
Waktu aku kuliah dan dapat tugas KKN di daerah Batang, aku juga menemukan nasi sejenis Sego Gono ini disana. Bedanya di Batang namanya Nasi Megono dan sebagai campuran nasinya bukan sayuran tetapi nangka muda yang dicacah dan di masukkan kedalam nasi. Tapi menurutku rasa Nasi Megono ini tidak senikmat Sego Gono yang biasa aku santap sewaktu kecil.
Ceritanya di Milis Temanggung salah seorang teman ngiming-iming makan Sego Gono, jadilah tanggapan bersahutan dari mana-mana.. Semuanya jadi kepingin merasakan kembali nikmatnya Sego Gono ini. Tahu-tahu ada Pak Antok Dharmanto.. Pak Lurah ini yang akhirnya mengungkapkan betapa berartinya Sego Gono ini bagi para petani tembakau di daerah Temanggung. Sego Gono menjadi salah satu syarat utama dari 7 syarat yang harus dipenuhi dalam ritual menanam tembakau disana. 7 syarat itu adalah :
1. JARIT REJENG KAWUNG : kain batik dengan motif Rejeng Kawung (harus yang baru) untuk tempat bibit tembakau yang mau ditanam. Dengan harapan nantinya hasil panen tembakau ini bisa dijadikan bebet/nyandang (membeli pakaian)
2. PRING WULUNG : Bambu dari jenis Wulung untuk memikul bibit tembakau, yang mengandung makna dan harapan agar tanaman tembakau yang ditanam ini nantinya setinggi bambu.
3. SENTE : Sejenis talas berwarna hitam, yang merupakan simbol dan harapan agar kelak daun tembakau menjadi selebar daun talas (sente)
4. SAMBELLILER : Pohon Miana, agar nantinya hasil tembakaunya warnanya mengilap seperti Sambelliler
5. DADAP SREP : maksudnya agar tumbuhnya tanaman tembakau semudah tumbuhnya tanaman Dadap Srep
6. BERAS KAPUROTO : Beras yang dicampur dengan kapur sirih dan kunyit. Maksudnya sebagai tolak bala, agar semua halangan, penyakit tanaman, hama dan lain sebagainya tidak mengganggu tanaman
7. SEGO GONO : Nasi yang isinya sayuran bermacam-macam rupa ini merupakan simbol agar hasil panen tembakau nanti bisa dibelikan macam-macam kebutuhan.
Naah.. kenapa syaratnya sejumlah 7 (7 = PITU dalam bahasa Jawa). Maksudnya agar senantiasa mendapatkan PITULUNGAN atau PERTOLONGAN dari Yang Maha Kuasa.
Ternyata, Sego Gono selain nikmat disantap juga punya makna dan filosofi yang dalam yaa....

Monday, May 18, 2009

Candi Cangkuang




Ketika berkunjung ke Garut kali ini kita sempetin mampir ke Candi di Situ Cangkuang yang berdiri di pinggir situ(danau) buatan. Candi Cangkuang merupakan peninggalan kerajaan Hindu. Sedangkan nama Cangkuang sendiri berasal dari nama sejenis pohon pandan (Pandanus Furcatus) yang banyak terdapat di sekitar candi. Pohon pandan ini daunnya banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk membuat tikar dan anyaman yang lain.
Desa Cangkuang terletak disebelah utara kabupaten Garut masuk wilayah Kecamatan Leles, tepatnya berjarak 17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Untuk mencapai Candi kita harus menyeberangi Situ Cangkuang dengan rakit-rakit yang disewakan penduduk setempat untuk para wisatawan. Sayangnya pengelolaan tempat ini kurang maksimal sehingga danau yang indah ini kurang terpelihara.
Candi Cangkuang terletak sebelah menyebelah dengan Kampung Pulo, kampung adat yang didirikan oleh salah satu tokoh Agama Islam bernama Eyang Dalem Arif Muhammad, yang berinisiatif untuk membendung aliran air disekitarnya dan menjadikannya sebuah danau (situ). Candi ini terletak di tanah berbukit tepat di sebelah Kampung Pulo. Awalnya ketika ditemukan candi ini sudah dalam keadaan rusak, dan kemudian dipugar kembali untuk mengembalikan bentuk aslinya.
Candi Cangkuang ini ditemukan kembali oleh Team Ahli Sejarah Leles pada tanggal 9 Desember 1966. Team Sejarah Leles ini disponsori oleh Bapak Idji Hatadji ( Direktur CV. Haruman ), dan diketuai oleh Prof. Harsoyo. Sebagai ketua penelitian sejarah dan kepurbakalaan adalah drs. Uka Tjandrasasmita, seorang ahli purbakala Islam pada
lembaga purbakala. Drs. Uka Tjandrasasmita mula-mula melihat adanya batu yang merupakan fragmen dari sebuah bangunan candi dan disamping itu terdapat pula makam kuno berikut sebuah arca ( patung ) Siwa yang sudah rusak. Penelitian tersebut
berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno ( Arif Muhammad ) dan sebuah arca yang sudah rusak. Selama penelitian selanjutnya disekitar tempat tersebut ditemukan pula peninggalan-peninggalan kehidupan pada zaman pra sejarah yaitu berupa alat-alat dari batu obsidian ( batu kendan ), pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neolithicum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum.
Di sekitar Candi juga dikelilingi pohon-pohon besar yang mulai langka seperti Pohon Honje yang kulit kayunya biasanya digunakan untuk anyaman tas dan perangkat rumah tangga lainnya. Pohon ini menjulang keatas dengan akar-akar yang simpang siur menjalar di permukaan tanah.
Menurut penjaga museum, Candi Cangkuang diperkirakan merupakan peninggalan dari abad ke-7 M. Jadi pada waktu Embah Dalem Arif Muhammad datang kesini untuk menyebarkan agama Islam, Candi ini sudah berdiri selama 10 abad. Tidak banyak informasi yang bisa kita dapat dari museum. Hanya ada beberapa foto yang menunjukkan aktivitas selama pemugaran, beberapa foto artefak dan patung syiwa. Kebanyakan malah menampilkan peninggalan-peninggalan dari Kampung Pulo, pemukiman adat Islami yang berdiri belakangan. Itupun dipajang seadanya disebuah etalase, di ruangan yang gelap kalau mendung dan hujan dan tidak dialiri listrik. Jadi tidak ada penerangan sama sekali, kecuali kalau petugas museum menyalakan lampu minyak atau lilin.

Saturday, May 16, 2009

Kampung Pulo Situ Cangkuang



Kampung Pulo Situ Cangkuang, adalah salah satu kampung adat yang terdapat di komplek sekitar Candi Cangkuang di Kabupaten Garut. Pertama kesana, agak heran juga kenapa ada kampung adat yang nota bene bernuansa Islami di sekitar Candi peninggalan agama Hindu. Ternyata, konon kabarnya Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan beserta
masyarakat setempatlah yang membendung daerah ini, sehingga terjadi sebuah danau dengan nama "Situ Cangkuang". Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan berasal dari kerajaan Mataram di Jawa Timur dan mendiami daerah ini sekitar abad XVII.
Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia sambil menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang - Kabupaten Garut. Waktu itu di Kampung Pulo salah satu bagian wilayah dari desa Cangkuang sudah dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu. Namun secara perlahan namun pasti, Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Agama Islam.

Di Desa Cangkuang terdapat makam kuno ( Arif Muhammad ) yang merupakan leluhur cikal bakal dari penduduk Kampung Pulo. Uniknya, di Kampung Pulo hanya terdapat 6 buah rumah adat. Kalau kita masuk ke komplek pemukiman Kapung Pulo, maka kita akan melihat 3 buah rumah di sisi kiri (selatan) dan 3 buah rumah di sisi kanan (utara). Jalan yang cukup lebar membelah komplek pemukiman ini, dan di ujung barat (kiblat) terletak Tajug/Masjid kecil dengan tempat wudlu dan sumur disampingnya. Rumah Ketua Adatnya terlihat berbeda dengan yang lain, karena atapnya memakai penutup atap ijuk. Rumah adat yang lain memakai genteng sebagai penutup atapnya.
Bentuk rumah adat di kampung pulo ini adalah rumah panggung dengan serambi yang cukup lebar di depannya untuk menerima tamu. Dindingnya menggunakan bahan kayu dan anyaman bambu dengan atap berbentuk pelana. Penghuni Kampung Pulo ini tidak pernah bertambah, hanya 6 kepala keluarga. Jika ada anggota keluarga bertambah dan menikah, maka mereka bermukim di luar kampung ini. Penduduk kampung juga terbuka dengan perkembangan teknologi. Tidak seperti di pemukiman Baduy Dalam yang pamali menggunakan segala macam alat elektronik dan benda-benda berbau teknologi, dari balik pintu rumah Si Abah yang terbuka, aku bisa melihat televisi berwarna 21 inch.
Di dalam museum yang ada disitu, kita juga bisa lihat kitab-kitab kuno dan Al-Qur'an yang ditulis di atas kulit kayu. Sayangnya waktu kita datang hari sudah sore dan di museum ini nggak ada penerangan alias nggak disambungin listrik.
Waktu kita sempat berbincang sejenak dengan Si Abah, beliau bilang mereka masih ada hubungan dengan Kesultanan Cirebon. Sayangnya hari hampir hujan dan kita udah kesorean jadi nggak sempet lagi ngobrol banyak dengan beliau.