Wednesday, February 24, 2010

Sad Story dibalik kemegahan Huize Karang Anom


Orang-orang yang sebelum tahun 1990-an tinggal di Cirebon pasti tidak pernah lupa dengan megahnya bangunan ini. Bangunan ini dulunya terletak di Jalan Karang Getas no. 64 dan dikenal dengan nama Huize Karang Anom, atau Hotel Kanton atau Gedung Ex Korem. Pada masa orde baru bangunan indah ini telah dijual oleh pemerintah kota Cirebon kepada pihak swasta dan dihancurkan, digantikan oleh Pusat Pertokoan Yogya Grand. Sungguh sayang karena sebetulnya bangunan ini sendiri mempunyai cerita bersejarah yang begitu panjang.
Dari pembicaraan beberapa kawan di jejaring sosial Multiply, baru aku ketahui cerita sedih dibalik kemegahannya. Bangunan ini dulunya adalah sebuah Villa yang dibangun pada sekitar tahun 1880-an oleh Mayor Tan Tjin Kie (1853-1919) untuk putrinya Tan Holy Nio yang tinggal disana bersama suaminya Kwee Tjong In yang berasal dari Kediri. Keluarga ini mempunyai 9 orang anak. Dimasa resesi setelah PD-I keluarga ini dipaksa membayar pajak yang cukup besar kepada pemerintah Hindia Belanda, dan karena tidak bisa membayarnya akhirnya beberapa aset keluarga disita, termasuk villa ini. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjadikan Villa ini menjadi sebuah hotel bernama Hotel Kanton. Pada masa pemerintahan RI, sekitar tahun 1950-an gedung ini beralih fungsi sebagai Markas Komando Riset Militer.
Mayor Tan Tjin Kie sendiri adalah seorang yang terpandang dan merupakan saudagar gula kaya di Cirebon pada masanya. Beliau memiliki pabrik gula dan sejumlah aset penting lainnya di kota Cirebon diantaranya adalah bangunan yang sekarang ditempati sebagai sekolah TK, SD, SMP dan SMA Santamaria di daerah pesisir (Jl. Sisingamangaraja). Pada umur 29 tahun beliau diangkat menjadi Luitenant der Chineezen kemudian menjadi kapiten enam tahun kemudian. Pangkat mayor tituler diraihnya pada tahun 1913. Mayor tituler adalah pangkat tertinggi yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada masyarakat keturunan Tionghoa. Beliau meninggal pada tahun 1919 karena penyakit jantung. Pemakamannya dikisahkan sebagai upacara pemakaman "paling royal dan menggemparkan seluruh Jawa". Dihadiri oleh rakyat jelata, pemuka-pemuka agama, pembesar dari berbagai etnis dan pemerintah Hindia Belanda waktu itu.

(gambar: kereta kuda yang menyertai pengusungan jenazah Tan Tjin Kie)

Kisahnya hampir mirip dengan raja gula di Semarang Oei Tiong Ham.,yang konon hijrah ke Singapura karena menghindari pajak yang dikenakan oleh pemerintah Hindia Belanda . Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang cucunya yang telah hijrah dan sekarang ini tinggal di luarnegeri dalam dialog di situs jejaring Multiply sebagai berikut :

"Tepatnya kapan kakek dan nenek saya pindah tidak diketahui, kira2 antara tahun 1922 - 1925, setelah perang dunia pertama, pemerintah Belanda memerlukan uang maka dari itu , pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan pajak keuntungan waktu perang, pada saat itu banyak orang yang kena peraturan itu dan menjadi bangkrut, jamannya resesi besar2an. Padahal waktu perang perusahaan2 banyak yang mengalami kerugian, termasuk keluarga orang tua nenek saya. Keluarga orang tua nenek saya terkena pajak perang ini sebanyak 3 setengah miljard, sebagai bayarannya pemerintah Belanda mengambil alih berikut segala perabotannya rumah Karang Anom, Villa de Armada (letaknya di bioskop Paradys dulu tahun 50-an, entah sekarang apa disitu), pabrik2 gula dan rumah Binarong (rumah ini juga diratakan entah kena bom atau dibumi hangus waktu jaman perang dunia kedua) disekitar pabrik gula, rumah Pesisir (sekarang jadi sekolah Santa Maria) dllnya. Setelah pemerintah Belanda memiliki rumah Karang Anom, rumah ini dijadikan hotel namanya Hotel Kanton. Setelah Belanda diusir dari Indonesia, rumah ini menjadi Resimen, tidak pernah dikembalikan pada pemilik asal. Sayang sekali rumah bersejarah ini sekarang sudah dijadikan Mall."

Rupanya akibat adanya pemberlakuan sistem pajak dari pemerintah Belanda ini keluarga para saudagar Tionghoa seperti Tan Tjin Kie ini akhirnya tercerai berai dan hijrah keluar negeri. Dari hasil surfing yang aku lakukan di Google, akhirnya kuketahui bahwa banyak anak cucu keturunan mereka yang bahkan tidak mengerti lagi keberadaan saudara-saudaranya. Beberapa berusaha mengumpulkan jejak dan menyusun silsilah keluarga mereka yang terpisah di beberapa negara dan benua.


Friday, February 19, 2010

Paviliun Indonesia di Shanghai World Expo 2010




Menyambut penyelenggaraan World Expo yang akan diadakan 1 Mei hingga 31 Oktober 2010 di Shanghai, Indonesia juga ikut berpartisipasi didalamnya. Pembangunan Paviliun Indonesia sendiri sudah mulai dibangun sejak September tahun lalu. Peletakan batu pertamanya dilaksanakan Mendag Mari Pangestu bersama Dubes RI untuk China Sudrajat, di Shanghai, China, Jumat, 18 September 2009 lalu. Biaya pembuatan paviliun ini kabarnya menghabiskan dana sekitar 10 juta dolar. Dana sebesar itu belum termasuk yang akan digunakan oleh kegiatan sehari-hari selama enam bulan kegiatan berlangsung, yang akan menyertakan sejumlah instansi. keikutsertaan ini untuk mempromosikan perdagangan, pariwisata dan investasi antara Indonesia dan China, di samping menanamkan kebanggaan nasional dalam meraih pengakuan internasional. Tema yang dipilih paviliun Indonesia adalah mempresentasikan kehidupan dan keanekaragaman budaya dan lingkungan dari aspek kehidupan, budaya, lingkungan alam, serta sejarah.

Sementara pesan yang ingin disampaikan adalah Indonesia merupakan negara di mana keanekaragaman tetap terjaga setiap hari di berbagai tingkatan. Dubes Sudrajat mengatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam kegiatan ini sangat penting dan strategis dalam upaya menyampaikan informasi luas kepada masyarakat internasional dan China.

Dia menilai bahwa pameran ini nantinya akan menjadi ajang kegiatan promosi bergengsi dan strategis bagi semua negara di dunia, termasuk Indonesia, sehingga partisipasi Indonesia sdalam expo ini dinilai sangat penting. Panitia Shanghai World Expo 2010 menargetkan setidaknya 70 juta pengunjung dari penjuru dunia akan menghadiri dan menyaksikan kegiatan ini.

Tidak hanya memamerkan hasil perindustrian, perdagangan ataupu informasi teknologi lainnya. Ajang expo ini juga memperlihatkan keindahan desain setiap paviliun dengan berbagai ragam konsep yang memukau. Selain itu beberapa fasilitas lain yang dibangun untuk mendukung kegiatan ini juga memperlihatkan desain-desain yang spektakuler.
Paviliun Indonesia sendiri tidak hanya mengacu pada tema expo kali ini yaitu "Better City, Better Life" tapi juga memperlihatkan keanekaragaman budaya Indonesia Paviliun ini diharapkan dapat menawarkan kepada pengunjung keanekaragaman budaya dan hayati yang ada di Indonesia yang tumbuh dan berkembang sebagai satu harmony di tengah perkembangan teknologi dewasa ini. Kota besar di Indonesia ada saat ini dihuni oleh lebih dari 200 kelompok etnis yang mewakili beragam budaya dan perbedaan kepercayaan. Marie Pangestu dala m pidatonya pada saat peletakan batu pertama mengatakan bahwa pada Expo 2010 kali ini, Paviliun Indonesia akan memperlihatkan "The Unity of Indonesia" dalam mengembangkan potensinya berupa potensi alam, sumber daya, budaya, industri kreatif, investasi, perdagangan dan turisme.
Dinding, langit-langit dan beberapa elemen bangunan dibangun dari bambu, yang merupakan simbolisasi semangat negara ini yang begitu lentur. Sebuah air terjun dengan lebar 40 m dan tinggi 17 m akan dibuat di tengah bangunan, membagi bangunan menjadi dua bagian, seperti halnya garis khatulistiwa yang membagi wilayah Indonesia.

Wayang Potehi



Perayaan Cap Go Meh, sebentar lagi tiba. Jadi inget waktu jaman kecil dulu sekitar tahun 70-an, di kota kelahiranku Parakan, sering diadakan acara - acara untuk menyambut datangnya Tahun Baru Imlek. Tapi tidak seperti halnya sekarang, dimana perayaan Imlek dapat dirayakan secara terbuka, dulu perayaan hanya dirayakan secara tertutup di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri. Selain menyiapkan upacara di klenteng, biasanya mereka suka menggelar pertunjukan wayang Potehi. Aku sendiri sebenarnya dulu tidak terlalu perhatian dengan kegiatan pertunjukan ini, tapi setiap kali ada pertunjukan wayang ini aku pasti tahu. Karena walaupun aku turunan suku jawa asli, aku bersekolah di sebuah sekolah swasta yang terletak di belakang komplek Klenteng. Jadi otomatis jika klenteng menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan disana, pasti sepulang sekolah kita bisa melihat kesibukan mereka. Salah satu yang menarik ya pertunjukan wayang Potehi ini, karena setiap selesai digelar pertunjukan, teman-teman sekelasku yang notabene lebih banyak keturunan Cina-nya dibandingkan orang Jawanya sendiri pasti ramai membicarakannya.

Dari Wikipedia isebutkan bahwa kata Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung) dan hie (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang golek jenis lain. Atau mungkin bisa dibilang lebih mirip dengan panggung boneka. Dalang memainkan wayang di belakang sekat yang berlubang seperti jendela dan dihiasi dengan tirai kain serta lukisan atau gambar khas China seperti Naga, Burung Phoenix atau binatang simbolis lainnya. Dibagian belakang dipasang kain penutup untuk background. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari daratan Cina asli.

Menurut legenda, seni wayang ini ditemukan oleh pesakitan di sebuah penjara. Lima orang dijatuhi hukuman mati. Empat orang langsung bersedih, tapi orang kelima punya ide cemerlang. Ketimbang bersedih menunggu ajal, lebih baik menghibur diri. Maka, lima orang ini mengambil perkakas yang ada di sel seperti panci dan piring dan mulai menabuhnya sebagai pengiring permainan wayang mereka. Bunyi sedap yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar, yang akhirnya memberi pengampunan.

Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin yaitu pada abad ke 3-5 Masehi dan berkembang pada Dinasti Song di abad 10-13 M. Wayang Potehi masuk ke Indonesia (dulu Nusantara) melalui orang-orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia di sekitar abad 16 sampai 19. Bukan sekedar seni pertunjukan, Wayang Potehi bagi keturunan Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.

Beberapa lakon yang biasa dibawakan dalam wayang potehi adalah Sie Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, dan Poei Sie Giok. Setiap wayang bisa dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, Sia Kao Kim, yang warna mukanya tidak bisa berubah.

Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik daratan China seperti kisah legenda dinasti-dinasti yang ada di China terutama jika dimainkan di dalam kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti legenda Kera Sakti yang tersohor itu. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam bahasa Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk pribumi pun bisa menikmati cerita yang dimainkan.

Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak. Seperti misalnya tokoh Sie Jin Kwie yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau jika Anda penggemar berat ketoprak, mestinya tidak asing dengan tokoh Prabu Lisan Puro yang ternyata diambil dari tokoh Lie Sie Bien.

Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng, suling, gwik gim (gitar), rebab, tambur, terompet, dan bek to. Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, yang jika salah pukul tidak akan mengeluarkan bunyi "trok"-"trok" seperti seharusnya.

Saat VOC berkuasa di Indonesia, sempat ada pelarangan pertunjukan kegiatan hiburan seperti tari-tarian dan wayang yang ditujukan kepada orang-orang Cina dalam sebuah imigrasi tertentu pada waktu itu. Setelah VOC tak lagi berkuasa, pelarangan itu lambat laun kendur dan wayang potehi kembali hidup hingga tahun 1967. Namun semenjak ada Intruksi Presiden No. 14/1967 era pemerintahan Soeharto yang melarang berbagai bentuk ekspresi kesenian warga keturunan Cina membuat sejumlah kesenian ikut mati suri termasuk wayang potehi. Akibatnya, generasi muda yang lahir tahun 70 s/d 90-an tidak mengenal dengan baik kesenian ini. Tahun 1970-an sampai tahun 1990-an bisa dikatakan masa suram bagi Wayang Potehi. Itu dikarenakan tindakan yang cenderung represif penguasa pada masa itu terhadap kebudayaan kebudayaan Tionghoa. Padahal nilai-nilai budaya yang dibawa serta oleh para keturunan Tionghoa sejak berabad-abad lalu telah tumbuh bersama budaya lokal dan menjadi budaya Indonesia. Dalam masa suram itu, wayang Potehi seolah mengalami pengerdilan. Sangat sulit menemukan pementasannya saat itu. Apalagi jika bukan karena sulitnya mendapat perizinan. Namun setelah orde reformasi berjalan, tepatnya setelah pemerintahan Gus Dur, angin segar seolah menyelamatkan kesenian ini. Wayang Potehi bisa dipentaskan kembali dan tentu saja tidak dengan cara sembunyi-sembunyi. Begitu juga pertunjukan-pertunjukan seni tradisional khas China lainnya seperti Barongsai. Peminat pertunjukan inipun tidak hanya melulu kalangan masyarakat Tionghoa-nya saja, tetapi juga masyarakat pribumi. Beberapa dalang Wayang Potehi bahkan berasal dari suku-suku asli di Indonesia, yang sengaja mempelajarinya dan menjadikannya sebagai profesi.