Monday, February 23, 2009

Festival Rakyat, Muludan











Menjelang hari perayaan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal, (atau kalau dalam penanggalan Jawa jatuh pada bulan Mulud) di kota Cirebon biasa diadakan festival rakyat yang biasa disebut Muludan. Sebulan sebelumnya di alun-alun keraton Kasepuhan dan Kanoman dibuat lapak-lapak tempat orang berjualan pakaian, mainan dan makanan, menyediakan jasa ramal, menyediakan arena permainan anak, dll. Sama dengan acara Sekatenan yang biasa diadakan di Yogya dan Solo. Beberapa mainan tradisional masih dijajakan disini, mencoba bertahan dari gempuran teknologi di era Playstation, Game PC dan Game Online. Ada kapal "klothok" yang terbuat dari seng, dan untuk menjalankannya dipakai bahan bakar minyak tanah, mainan masak-masakan dari anyaman bambu, seng atau gerabah, atau topeng, boneka bouraq dan beberapa karakter wayang golek. Selain itu jajanan khas Cirebon tentunya juga banyak tersedia disini, hanya saja, dimusim Muludan seperti ini, biasanya mereka memasang harga sedikit lebih mahal dari biasanya. Jadi kalau mau cari empal gentong, docang, tahu gejrot, lengko yang sudah pasti rasa dan harganya, mending jangan beli disini deh...Disini rasanya STD banget, tapi harganya melebihi warung-warung biasa. Jika Muludan begini, biasanya penjual manisan, aneka dodol, arum manis, martabak dan tahu petis, banyak berjualan disini. Dari setiap penjuru pintu menuju alun-alun sudah berderet penjual makanan. mereka mencoba ikut ngalab berkah, setahun sekali, "Mrema-an" kalo kata orang Cirebon bilang. Ada juga penjual kerak telor, yang cukup banyak aku temui disini. Rombongan penjual kerak telor ini khusus datang dari Jakarta. Pantesan... biasanya aku hanya menemui satu-dua penjual, sekarang banyak sekali penjual kerak telor di berbagai sudut keramaian. Rupanya rombongan besar pedagang makanan khas Betawi ini juga ingin mencoba mengais rejeki di keramaian Muludan.
Lain lagi arena permainan anak-anak, dari mulai tong stand, ombak banyu, korsel, balon udara, kincir, istana hantu, kereta, mandi bola dan banyak lagi lainnya, juga ikut meramaikan festival rakyat ini. Untuk naik ke stand ini, pengunjung rata-rata ditarik bayaran Rp.5000,-. Dan mereka juga datang dari jauh, ada yang dari Klaten dan Demak - Jawa Tengah dan ada juga yang datang dari Blitar- Jawa Timur. Keramaian Muludan di Cirebon ini menari mereka untuk datang dan mencari penghasilan disini.
Buat yang suka diramal, di beberapa sudut pasar rakyat ini ada juga penyedia jasa ramal. Di era seperti ini masih saja ada orang yang percaya pada urusan ramal-meramal ini. Salah satu pengunjung yang lagi asyik berkonsultasi ke tukang ramal, bahkan kaget dan mencoba lari menghindar ketika tau aku ambil fotonya. Sorry ya mas... mungkin dia nggak pengin ada orang tau dia mencoba mencari tau nasibnya dari tukang ramal beginian.
Yang jelas, festival rakyat begini masih dinanti oleh masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Tidak hanya karena even yang hanya datang setahun sekali ini sudah merupakan tradisi, tapi setidaknya mereka bisa mendapatkan hiburan yang cukup murah dan meriah. Acara festival rakyat ini nantinya akan ditutup dengan arak-arakan Panjang Jimat yang diadakan oleh Keraton. Pas malam habis isya di tanggal 12 bulan Mulud, Keraton Kasepuhan dan Kanoman biasanya menyiapkan segala tata cara upacara Panjang Jimat, dan mengaraknya dari Keraton menuju makam Sunan Gunung Jati (Astana Gunung Jati)di Gunung Sembung.

Friday, February 13, 2009

Pejuang Kerontjong




Ini cerita ayahku lagi, pakdeku...kakak ayahku yang paling besar, selisih umurnya dengan ayahku sekitar 20 tahun. Ayahku aja lahirnya tahun 1942, jadi pakdeku ini hidup pada masa Belanda masih menduduki bangsa ini. Dulu... pakdeku ini pimpinan grup kerontjong. Tapi pada jaman-jaman begitu tentu saja sebagai orang yang punya nasionalisme tinggi, ikut juga berjuang buat bangsanya. Ceritanya grup kerontjong pakdeku ini suka manggung kemana-mana. Termasuk juga sering diundang untuk menghibur para petinggi Belanda yang berdinas di Parakan. Kebetuan ada salah satu komandan Belanda itu yang suka sekali dengan musik kerontjong dan menjadi sahabat baik pakdeku. Sampai pada suatu hari, pakdeku ditangkap oleh serdadu Belanda yang lain karena aktivitasnya sebagai pejuang. Setelah ditahan maka diputuskan kalo pakdeku akan ditembak mati olah serdadu Belanda disana. Mengetahui kalo pemain kerontjong kesayangannya mau ditembak mati, si komandan Belanda ini langsung datang ke serdadu yang menangkap pakdeku. "Kerontjong mati! Kamu juga mati!" begitu kira-kira teriakan komandan Belanda itu pada anak buahnya. Jadilah pakdeku dibebaskan dari hukuman mati dan selamat karena kemampuannya ber"kerontjong". Hidup Kerontjong !!!!
Beliau kemudian masih bisa mengembangkan kemampuannya berkerontjong dan meninggal sekitar tahun 70-an karena penyakit jantung.

Thursday, February 12, 2009

Parakan... riwayatmu dulu....



Aku lahir di Parakan, di Kabupaten Temanggung. Kota kecil yang terletak di kaki gunung Su-Si (Sumbing - Sindoro). Walaupun aku lahir dan besar disitu, nggak banyak yang aku tau dari kota kelahiranku itu selain bahwa pada jaman perjuangan dulu banyak pejuang-pejuang dari segala penjuru kota datang ke kota ini membawa Bambu Runcing untuk didoakan oleh seorang Kyai disini yang bernama Kyai H. Subchi. Dari beberapa cerita aku juga denger bahwa dulunya pusat pemerintahan Tumenggungan itu bukan di Temanggung yang sekarang jadi ibukota Kabupaten, melainkan di Parakan ini. Parakan juga konon erat ceritanya dengan kisah seorang pendekar Shaolin yang melarikan diri dan menetap dan mengembangkan perguruan disitu.
Pagi tadi aku dan suamiku iseng-iseng ngobrol dengan ayahku. Awalnya suamiku yang nanya, kenapa walaupun tinggal di desa, keluargaku nggak seperti orang jawa jaman dulu, yang dalam bayangannya tinggal di kampung, miara perkutut, (halah!)masih terikat tatacara ini itu, aturan adat istiadat, unggah-ungguh, dan lain sebagainya. Ayahku cenderung demokratis dan berpikiran luas, pada jaman itu mungkin belum banyak orang ndeso di jawa yang sekolah sampai ke perguruan tinggi, tapi ayahku kuliah ke UGM.
Lalu berceritalah ayahku bahwa Parakan memang unik. Karakterisik kota kecil ini beda dengan kota-kota lain di sekitarnya, bahkan dengan Temanggung sekalipun, ibu kota kabupaten yang jaraknya hanya 13 km dari Parakan. Parakan mungkin juga banyak dipengaruhi oleh budaya etnis Tiong Hoa, karena konon dulunya salah satu dari 3 orang pelarian dari bangsa China bernama Lauw Djing Tie, menetap dan mengembangkan perguruan Shaolin di kota ini. Parakan sendiri dulunya adalah tanah perdikan yang dipimpin oleh seorang tumenggung. Pusat pemerintahannya dulu ada di daerah dekat Pasar Legi Parakan. Kata ayahku dulunya disitu ada alun-alun dan Tumenggungan. Dalam bayanganku mungkin tata kotanya hampir sama dengan karakteristik kota-kota jawa yang lainnya. Ada alun-alun sebagai ruang komunal, pasar, pusat pemerintahan, tempat peribadatan (masjid) dan biasanya di kota-kota yang lebih besar terdapat penjara di sekitar area tersebut. Naah, perguruan Shaolin, berada di daerah sekitar bioskop Parakan sekarang, dulunya konsentrasi pemukiman warga Tiong Hoa-nya pun juga nggak jauh-jauh dari situ, di Gambiran atau di Sebo Karang. Menurut ayahku juga, dulu ceritanya si pendekar Shaolin ini saingan ama pendekar lokal dari Kauman. Akhirnya terjadi konflik dan mereka sempet bertarung untuk membuktikan kedigdayaan masing-masing. Si pendekar Shaolin ini kalah, dan kemudian masyarakat Tiong Hoa disana mulai belajar hidup berdampingan dengan rukun dengan masyarakat pribumi. Rupanya pemikiran masyarakat pribumi Parakan juga akhirnya terpengaruh dengan banyaknya masyarakat Tiong Hoa disana, paling tidak mereka lebih terbuka dengan kebudayaan dari luar dan lebih berpikir luas untuk belajar dari orang lain. Begitulah....., makanya embahku dulu, walaupun wong ndeso selalu bilang pada ayahku untuk sekolah yang bener. Walaupun kakak-kakak ayahku nggak ada yang sekolah sampe tinggi karena keterbatasan biaya, tapi sebagai anak yang terkecil justru ayahku didorong untuk bisa berhasil menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan sampai perguruan tinggi. Kebetulan pakdenya juga tidak dikaruniai anak, jadi ayahku dijadikan anak asuhnya dan ikut pula membiayai sekolah ayahku, karena embah kakung meninggal waktu ayahku masih kecil.
Kembali lagi ke cerita tentang kota kelahiranku. Karena Parakan dulunya sebagai kota kecil yang banyak dikunjungi pejuang, maka pemerintah Belanda waktu itu juga menempatkan pasukannya disini. Akses ke kota kecil ini dapat ditempuh dengan menggunakan kereta api. Kata ayahku dulu pejuang-pejuang yang datang dengan kereta banyak sekali. Mereka bahkan naik ke atap gerbong karena kereta selalu penuh sesak. Sebelum akhirnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Temanggung, Parakan sudah dikenal oleh para pejuang seantero Jawa. Disinilah asal muasal Bambu Runcing yang digunakan sebagai senjata para pejuang untuk melawan penjajah Belanda waktu itu. Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Temanggung, Parakan berkembang menjadi pusat perdagangan, dengan toko-toko pecinan dan sentra perdagangan tembakau. Aku juga nggak tau kapan kereta api tidak diaktifkan lagi jalurnya ke Parakan, karena waktu aku SD, aku tidak menemukan lagi ada kereta dengan rute kesana. Stasiun Keretanyapun sudah kosong dan tidak terpakai lagi. Tapi kata ayahku, waktu iuku SMP, sekitar tahun 60-an, ibuku masih naik kereta pagi untuk berangkat sekolah ke SMP di Temanggung.
Jaman aku SD dulu, sekita tahun 70-an, masih inget banget, para juragan mbako (tembakau) di Parakan yang kaya raya karena keberhasilan panen waktu itu, sempet menyewa pesawat pribadi untuk nonton piala dunia ke Spanyol!! Para pedagang Tiong Hoa disini juga banyak yang berhasil secara financial dan menyekolahkan anak-anaknya ke luar, ke kota-kota besar, bahkan ke luar negeri.
Sayangnya keindahan aristektur etnis Tiong Hoa yang masih tersisa di Parakan lama-lama terkikis oleh modernisasi. Aku lihat perkembangan kota kecil ini cenderung nggak terencana dengan baik, jadinya ya semrawut disana-sini. Karena udah lama aku nggak pulang kesana, aku belum liat lagi gimana kondisi bangunan-bangunan indah yang dulu aku kagumi semasa kecilku. Kebetulan karena aku sekolah di sekolah swasta (SD Remaja, yang letaknya persis di belakang Klenteng Tri Darma / Hok Tek Tong), temenku justru mayoritas berasal dari etnis Tiong Hoa. jadi, kalo ada temen ulang tahun, aku bisa lihat beberapa masih menempati rumah-rumah bergaya arsitektur khas China dengan inner court di tengah dan rumah induk dibelakang. Bagian depan biasanya digunakan untuk berdagang atau sebagai tempat untuk menerima tamu bagi masyarakat Tiong Hoa yang bukan pedagang. Bentuk sekur dan ukiran-ukiran khas, dengan balok-balok kayu yang besar-besar untuk menopang struktur atap, atau bahkan hiasan-hiasan keramik dan kerawangan yang mungkin memang didatangkan khusus dari negeri Tiongkok menghiasi rumah tinggal mereka, aku tau barang-barang itu pasti sudah tua umurnya. Mungkin masih ada yang tersisa sekarang, tapi banyak juga yang sudah hilang karena dimakan usia atau kalah oleh perubahan jaman. Inginnya kembali kesana untuk napak tias pengalaman masa kecilku dulu... tapi kapan sempetnya ya....:(


Wednesday, February 11, 2009

???? kapan belajarnya ???






Kadang-kadang aku nggak habis pikir. Dua anakku tuh susah banget kalo disuruh belajar. Dua-duanya kalo udah didepan komputer nggak inget waktu. Kalo belum diomelin aja, nggak pada lepas matanya dari monitor. Akhirnya kita sepakat masang timer buat setting jam pemakaian internet. Tapi tetep aja, lepas internet putus, mereka masih kutak -katik keyboard, maen game PC atau jalanin program yang laen. Aku sih seneng aja mereka jadi melek teknologi, tapi melototin komputer lama-lama takut bikin mata mereka cape. Udah gitu kerjaan sekolah ntar jadi keteteran. Aku bilang boleh aja maen komputer, tapi ya mbok porsinya berimbang, antara urusan sekolah, urusan komputer, urusan rumah, ama sosialisasi ama temen-temennya. Maksudnya..., mereka udah cukup besar untuk diajarin bagaimana memanage sendiri waktunya. Tapi dasar anak..., tetep aja komputer jadi porsi terbesar dari jam-jam mereka sehari-hari.
Walaupun seneng melototin komputer, dua-duanya juga seneng baca. Sekarang aja novel-novel fiksi yang tebel udah jadi bacaanya. Dua-duanya.. Nggak Sheila, nggak Fira... Dari mulai Harry Potter, Tunnel, Deeper, The Hunt forAtlantis, Twilight... novel-novel yang tebelnya ratusan halaman dan kayaknya lumayan puyeng kalo digebugin ke kepala...., udah selesai dilahap.
Kadang kalo terima rapot suka ketar-ketir juga. Gimana nilainya nih anak... PR aja suka lupa dikerjain, ulangan kadang lupa belajar. Inget baru pagi-pagi dan sambil berangkat baru baca buku pelajarannya di mobil. Tapi ya... sampai sekarang alhamdulillah-nya paling nggak nilainya diatas rata-rata kelas. Paling kalo pas terima rapot mereka cengar-cengir... "Gimana mah? Aman kan?" Duuuuh.....
Bicara soal komputer dan internet, dari mulai account di FS, ikut forum di Game Online, browsing komik-komik Jepang di One Manga, download lagu-lagu Korea ama Jepang sampe sekarang lagi demen-demennya nge-FB. Kadang-kadang mereka cekakakan ngeliat blog-nya Raditya Dika... blog-nya orang goblog atau blog yang bikin orang ikut-ikutan goblog ya... he he. kadang karena penasaran aku jadi suka ikut-ikutan liat juga. "Ini lho mah, bla.. bla.. bla.." dan "Wakakakak..."
"Iya... tapi internet nggak cuman buat nyari yang begituan doang... lihat manfaatnya dooong, cari sesuatu yang berguna coba...." Dan akhirnya buat tugas sekolah mereka cari-cari bahan dari internet juga.... Tapi yang bikin aku surprise si Teteh... tau-tau beberapa bulan lalu minta dibeliin tablet Wacom. Jadi sama papahnya dibeliin Bamboo. Tau-tau dia utak-atik photo shop. Download Program SAI(katanya sih buat bikin Manga), buka account di Devian Art. Nggak ada yang ngajarin.. dan liat apa yang dibuatnya..biar belum perfect... cuman ini hasil olahannya beberapa bulan ini... Dan....mengingat dia cari-cari sendiri dari internet... bikin aku surprise juga....