Wednesday, March 18, 2009

Masjid Agung Sang Cipta Rasa










Masjid yang dikenal juga sebagai salah satu masjid wali ini, terletak di komplek alun-alun Kasepuhan Cirebon. Masjid ini dibangun bersamaan dengan Masjid Agung Demak dan merupakan pasangan dari masjid tersebut. Dulu sempat berbincang-bincang dengan Pak Ahmad Fanani, salah satu pemerhati arsitektur masjid Indonesia, beliau mengatakan bahwa pada waktu pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati memohon ijin untuk membuat pasangannya di Cirebon. Masjid Agung Demak mempunyai watak maskulin, sedangkan Masid Agung Sang Cipta Rasa ini mewakili watak feminin. Tidak seperti masjid-masjid wali pada umumnya yang mempunyai bentuk atap tajug (berbentuk piramid) bersusun dengan jumlah ganjil, Masid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk atap limasan dan diatasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Bisa jadi inipun juga perlambang dari sifat feminin-nya. Bentuk konstruksi secara keseluruhan-pun terlihat lebih pendek dibandingkan dengan Masjid Agung Demak yang kelihatan tinggi dan gagah.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa didirikan pada tahun 1411 Tahun Saka atau 1489 M. Salah satu soko gurunya konon dibuat oleh Sunan Kali Jaga dari tatal (serpihan kayu) yang disatukan dan dibuat tiang. Sama dengan yang ada di Masjid Agung Demak. Terceritakan juga bahwa para wali pada saat masjid ini selesai didirikan berjamaah sholat Maghrib disini dan kemudian Sholat Subuh di Masjid Demak.
Didalam komplek Masjid Agung ini juga terdapat makam bagi mereka yang berjasa kepada masjid, diantaranya adalah makam Kuwu Sangkan.
Bangunan ruang sholat utama terdiri dari bangunan inti yang didalamnya terdapat mihrab dan tempat sholat Sultan Kasepuhan dan Kanoman yang masing-masing dikelilingi oleh pagar kayu. Pintu utama tempat sholat ini hampir tidak pernah dibuka, kecuali pada saat Sholat Ied atau pada waktu perayaan Maulid Nabi Muhammad. Pada hari-hari biasa, pengunjung masuk dari pintu kecil disamping yang jika melewatinya kita harus menunduk karena lubang pintu yang pendek. Ini juga mengandung filosofi bahwa kita harus merendahkan diri ketika berada di masjid.
Bagian mihrabnya terbuat dari batu putih, seperti batu palimanan dan berukir motif bunga teratai. Bentuknya merupakan adaptasi dari ragam hias arsitektur Hindu yang sebelumnya berkembang di Pulau Jawa sebelum agama Islam datang ke negeri ini. Bagian mimbar juga berukir hiasan sulur-suluran, dan pada kakinya ada bentuk seperti kepala macan, mengingatkan pada kejayaan jaman Prabu Siliwangi, jaman sebelum Kesultanan Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat. Konstruksi Soko Gurunya berjumlah 12 buah, menyangga atap utama yang berbentuk limasan susun tiga. Satu dengan yang lain dihubungkan dengan balok-balok melintang dan masing-masing ikatannya menggunakan pasak. Di ruang sholat utama ini terdapat 9 buah pintu, 1 pintu utama di bagian timur, 4 pintu kecil dan 4 pintu berukuran sedang. Dinding bagian depan berupa bata putih dengan hiasan ukiran kaligrafi berjumlah 9 di sebelah kiri dan 9 di sebelah kanan, melambangkan 9 wali penyebar agama Islam di Jawa. Pintu utamanya berupa pintu kayu dengan bagian kusen berhias ukiran dengan bentukan tiang di sisi kiri dan kanan pintu yang berhias ornamen kaligrafi dan ukiran sulur-suluran.
Keseluruhan kolom bangunan ini berdiri di atas umpak, dengan bentuk umpak pada tiang-tiang utama berbentuk bulat (dari batu kali) dan di bagian serambi berbentuk kotak. Konstruksi bangunan ini unik dan sangat berbeda dengan yang ada di Masjid Agung Demak, walaupun masjid ini dibuat pada waktu yang sama.
Sayangnya beberapa komponen bangunan sudah diganti dengan tidak mengindahkan kaidah dari arsitektur masjidnya sendiri. Pada bagian bawah atap susunnya ditutup dengan ram kawat dan lukisan kaca. Jadi di dalam masjid terasa panas karena aliran udara yang harusnya mengalir dibawah atap akhirnya tertutup. Hal tersebut dilakukan karena bentuk atap tersebut memungkinkan burung dan kelelawar masuk ke dalam bangunan. Bagian penutup atapnya yang dulu konon terbuat dari ijuk, kemudian diganti sirap, kini akhirnya diganti lagi jadi genteng metal, sehingga ciri khas tadisionalnya menjadi berkurang. Beberapa bangunan baru seperti ruang wudhlu juga dibuat menempel pada dinding keliling komplek, yang secara estetika malah jadi kelihatan mengganggu.
Karena usia masjid yang cukup tua, maka kolom atau saka-saka gurunya kini ditopang dengan perkuatan dari besi baja, untuk membantu menopang konstruksi atap diatasnya.
Aktivitas di masjid ini ramai oleh peziarah ketika malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Biasanya disini orang datang untuk berdzikir dan tirakat malam disini. Beberapa orang percaya akan mendapatkan keberkahan jika melaksanakan ibadah di masjid wali ini.

Motret Pre Wedding lagi....








Ini nih korbanku yang kelima. Kali ini giliran Teguh, anak buahku yang mau married akhir Maret ini jadi obyek foto pre-weddingku. Sayangnya cewenya malu-malu kalo disuruh pose... Jadinya beberapa foto kagak dapet "feel"-nya, gara-gara Teguhnya liat kemana... cewenya liat kemana... Dah gitu mau difoto candid, juga banyak nyureng-nya..waduuuh.. Jadinya kudu pas dapet moment-nya, itupun beberapa foto jadi kelihatan kaku gitu loh... ekspresinya nggak natural. Setelah pilih-pilih, sedikit retouching di photoshop (untung banget ada program begini, jadi banyak bantu)akhirnya selesai juga. Kita ambil lokasi di Setu Patok dan Pantai Kejawanan. Setu Patok tuh kira-kira 8 km kalo dari Cirebon, Karena pas musim hujan, air damnya rada banyak, biasanya kalo kemarau bisa kering lho.. Di Kejawanan nggak foto di pantainya karena pengin dapet suasana yang laen dari foto-fotoku yang dulu. Akhirnya dapet juga lokasi di rerumputan yang lagi tumbuh subur karena musim hujan. Dengan background semak-semak dan langit sore yang rada mendung.