Siapa yang nggak kenal Lawang Sewu di Semarang....
Bangunan udah dikenal sebagai salah satu icon kota Semarang, bukan hanya karena arsitekturnya yang indah tapi juga karena ada cerita-cerita mistis dibaliknya. Masih inget nggak? Dulu pernah ada acara Dunia Lain yang ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta dan dipandu si gundul Hari Panca menampilkan adanya penampakan makhluk halus disini. Sejak itu cerita mengenai "angker"nya Lawang Sewu merebak kemana-mana. Sampai-sampai ada produser film yang bikin film Horor disini dengan judul yang sama dengan nama tempat ini.
Bangunan ini dulunya adalah kantor Jawatan Kereta Api yang di jaman Belanda disebut sebagai Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1903 dan selesai pada tahun 1907 di arsiteki oleh Jacob F Klinkhamer dan BJ Queendag. Bangunan ini terletak di bundaran Tugu Muda Semarang yang dahulu disebut Wilhelmina Plein.
Setelah masa kemerdekaan bangunan ini dipakai oleh Jawatan Kereta Api Indonesia atau sekarang PT KAI. Terakhir dipakai sebagai markas Kodam IV Diponegoro dan Kanwil Departemen Perhubungan Jateng. Pada masa perjuangan gedung ini menjadi lokasi pertempuran antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang.
Nah, beberapa minggu lalu aku berkesempatan untuk masuk ke bangunan ini. Dulu waktu aku masih kuliah di Undip bangunan ini masih dipakai jadi markas Kodam. Waktu udah lulus bangunan ini udah nggak dipakai, tapi kok ya nggak kepikiran sama sekali pengin kesana ya...
Nah ... kemaren ini karena rasa penasaran, habis pagi-pagi cari sarapan ke Simpang Lima aku kesana ngajak ponakan-ponakan kecilku. Dan setelah masuk baru ketahuan betapa indah arsitektur bangunan ini. Semua detail bangunan diperhitungkan, dari mulai pemasangan marmer, plafond, elemen-elemen dekoratif sampai instalasi air bersih dan kotor, yang kelihatan banget dipikirkan fungsi dan estetikanya. Sayang banget... bangunan ini bener-bener nggak kerawat. Padahal begitu kita masuk ke main hall di depan kita akan disambut dengan indahnya warna-warni jendela kaca patri di tangga utama. Kenapa juga bangunan seindah ini dibiarin merana begini ya.... Apalagi kalau kita masuk ke menara atas, pengap dan bau kotoran kelelawar. Coba kalo bangunan ini dibikin jadi museum, dipelihara baik, di bersihin tiap hari dan pasti akan tambah lebih kinclong..... Terakhir katanya ada pemikiran mau dibikin hotel, tapi kalau jadi hotel takutnya nanti malah merusak existing bangunan aslinya. Sayang sekali baru beberapa foto aku ambil, kameraku ngadat gara-gara baterei cfc-nya habis. Bego banget ya... ternyata udah 3 tahun lebih baterei nggak diganti, pantes error mulu jadinya..
Menurut mas yang jadi guide disini, jumlah kamar semuanya ada 54 kamar. Dan yang jelas karena pintu dan jendela di sini buanyak banget maka masyarakat Semarang ini akhirnya menamakan gedung ini jadi Lawang Sewu... padahal kalo diitung-itung pintunya nggak sampe seribu tuh.... Karena nggak punya banyak waktu dan kamera udah nggak bisa dipake kita nggak lama-lama disini. Nggak sempet masuk ke penjara bawah tanah di gedung belakang tempat dulu pernah ada penampakan itu. Tapi... lain kali ke Semarang, aku mau kesini lagi ah nggajak anak-anak...... Biar mereka bisa tau dan lebih menghargai warisan sejarah peninggalan masa lalu.
Nah ini dibawah catatan sejarah tentang Lawang Sewu yang pernah di muat di harian lokal Suara Merdeka :
Menurut rangkuman sejarah yang disusun PT KA, semula Lawang Sewu milik NV Nederlandsch Indische Spoorweg Mastshappij (NIS), yang merupakan cikal bakal perkeretapian di Indonesia. Saat itu ibu kota negeri jajahan ini memang berada di Jakarta. Namun pembangunan kereta api dimulai di Semarang.
Jalur pertama yang dilayani saat itu adalah Semarang - Yogyakarta. Pembangunan jalur itu dimulai 17 Juni 1864, ditandai dengan pencangkulan pertama oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Sloet van Den Beele. Tiga tahun kemudian, yaitu 19 Juli 1868 kereta api yang mengangkut penumpang umum sudah melayani jalur sejauh 25 km dari Semarang ke Tanggung.
Butuh Kantor
Dengan beroperasinya jalur tersebut, NIS membutuhkan kantor untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Lokasi yang dipilih kemudian adalah di ujung Jalan Bojong (kini Jalan Pemuda). Lokasi itu merupakan perempatan Jalan Pandanaran, Jalan Dr Soetomo, dan Jalan Siliwangi (kini Jalan Soegijapranata).
Saat itu arsitek yang mendapat kepercayaan untuk membuat desain adalah Ir P de Rieau. Ada beberapa cetak biru bangunan itu, antara lain A 387 Ned. Ind. Spooweg Maatschappij yang dibuat Februari 1902, A 388 E Idem Lengtedoorsnede bulan September 1902, dan A 541 NISM Semarang Voorgevel Langevlenel yang dibuat tahun 1903. Ketiga cetak biru tersebut dibuat di Amsterdam.
Namun sampai Sloet Van Den Beele meninggal, pembangunan gedung itu belum dimulai. Pemerintah Belanda kemudian menunjuk Prof Jacob K Klinkhamer di Delft dan BJ Oudang untuk membangun gedung NIS di Semarang dengan mengacu arsitektur gaya Belanda.
Lokasi yang dipilih adalah lahan seluas 18.232 meter persegi di ujung Jalan Bojong, berdekatan dengan Jalan Pandanaran dan Jalan Dr Soetomo. Tampaknya posisi itu kemudian mengilhami dua arsitektur dari Belanda tersebut untuk membuat gedung bersayap, terdiri atas gedung induk, sayap kiri, dan sayap kanan.
Diurug Pasir
Sebelum pembangunan dilakukan, calon lokasi gedung tersebut dikeruk sedalam 4 meter. Selanjutnya galian itu diurug dengan pasir vulkanik yang diambil dari Gunung Merapi.
Pondasi pertama dibuat 27 Februari 1904 dengan konstruksi beton berat dan di atasnya kemudian didirikan sebuah dinding dari batu belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa, kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati.
Setiap hari ratusan orang pribumi menggarap gedung ini. Lawang Sewu resmi digunakan tanggal 1 Juli 1907. Dalam perkembangannya, Lawang Sewu juga terkait dengan sejarah pertempuran lima hari di Semarang yang terpusat di kawasan proliman (Simpanglima) yang saat ini dikenal sebagai Tugu Muda. Pada peristiwa bersejarah yang terjadi 14 Agustus 1945 - 19 Agustus 1945 itu, gugur puluhan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA). Lima di antaranya dimakamkan di halaman depan Lawang Sewu. Mereka adalah Noersam, Salamoen, Roesman, RM Soetardjo, dan RM Moenardi.
Kereta api kemudian menyerahkan halaman depan seluas 3.542,40 meter persegi pada Pemda Kodya Semarang. Sedangkan makam lima jenasah di halaman itu, 2 Juli 1975 dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal dengan Inspektur Upacara Gubernur Jateng Soepardjo Roestam.
Kini lahan gedung Lawang Sewu tinggal 14.689,60 meter per segi.
No comments:
Post a Comment