Friday, February 19, 2010

Wayang Potehi



Perayaan Cap Go Meh, sebentar lagi tiba. Jadi inget waktu jaman kecil dulu sekitar tahun 70-an, di kota kelahiranku Parakan, sering diadakan acara - acara untuk menyambut datangnya Tahun Baru Imlek. Tapi tidak seperti halnya sekarang, dimana perayaan Imlek dapat dirayakan secara terbuka, dulu perayaan hanya dirayakan secara tertutup di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri. Selain menyiapkan upacara di klenteng, biasanya mereka suka menggelar pertunjukan wayang Potehi. Aku sendiri sebenarnya dulu tidak terlalu perhatian dengan kegiatan pertunjukan ini, tapi setiap kali ada pertunjukan wayang ini aku pasti tahu. Karena walaupun aku turunan suku jawa asli, aku bersekolah di sebuah sekolah swasta yang terletak di belakang komplek Klenteng. Jadi otomatis jika klenteng menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan disana, pasti sepulang sekolah kita bisa melihat kesibukan mereka. Salah satu yang menarik ya pertunjukan wayang Potehi ini, karena setiap selesai digelar pertunjukan, teman-teman sekelasku yang notabene lebih banyak keturunan Cina-nya dibandingkan orang Jawanya sendiri pasti ramai membicarakannya.

Dari Wikipedia isebutkan bahwa kata Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung) dan hie (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang golek jenis lain. Atau mungkin bisa dibilang lebih mirip dengan panggung boneka. Dalang memainkan wayang di belakang sekat yang berlubang seperti jendela dan dihiasi dengan tirai kain serta lukisan atau gambar khas China seperti Naga, Burung Phoenix atau binatang simbolis lainnya. Dibagian belakang dipasang kain penutup untuk background. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari daratan Cina asli.

Menurut legenda, seni wayang ini ditemukan oleh pesakitan di sebuah penjara. Lima orang dijatuhi hukuman mati. Empat orang langsung bersedih, tapi orang kelima punya ide cemerlang. Ketimbang bersedih menunggu ajal, lebih baik menghibur diri. Maka, lima orang ini mengambil perkakas yang ada di sel seperti panci dan piring dan mulai menabuhnya sebagai pengiring permainan wayang mereka. Bunyi sedap yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar, yang akhirnya memberi pengampunan.

Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin yaitu pada abad ke 3-5 Masehi dan berkembang pada Dinasti Song di abad 10-13 M. Wayang Potehi masuk ke Indonesia (dulu Nusantara) melalui orang-orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia di sekitar abad 16 sampai 19. Bukan sekedar seni pertunjukan, Wayang Potehi bagi keturunan Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.

Beberapa lakon yang biasa dibawakan dalam wayang potehi adalah Sie Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, dan Poei Sie Giok. Setiap wayang bisa dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, Sia Kao Kim, yang warna mukanya tidak bisa berubah.

Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik daratan China seperti kisah legenda dinasti-dinasti yang ada di China terutama jika dimainkan di dalam kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti legenda Kera Sakti yang tersohor itu. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam bahasa Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk pribumi pun bisa menikmati cerita yang dimainkan.

Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak. Seperti misalnya tokoh Sie Jin Kwie yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau jika Anda penggemar berat ketoprak, mestinya tidak asing dengan tokoh Prabu Lisan Puro yang ternyata diambil dari tokoh Lie Sie Bien.

Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng, suling, gwik gim (gitar), rebab, tambur, terompet, dan bek to. Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, yang jika salah pukul tidak akan mengeluarkan bunyi "trok"-"trok" seperti seharusnya.

Saat VOC berkuasa di Indonesia, sempat ada pelarangan pertunjukan kegiatan hiburan seperti tari-tarian dan wayang yang ditujukan kepada orang-orang Cina dalam sebuah imigrasi tertentu pada waktu itu. Setelah VOC tak lagi berkuasa, pelarangan itu lambat laun kendur dan wayang potehi kembali hidup hingga tahun 1967. Namun semenjak ada Intruksi Presiden No. 14/1967 era pemerintahan Soeharto yang melarang berbagai bentuk ekspresi kesenian warga keturunan Cina membuat sejumlah kesenian ikut mati suri termasuk wayang potehi. Akibatnya, generasi muda yang lahir tahun 70 s/d 90-an tidak mengenal dengan baik kesenian ini. Tahun 1970-an sampai tahun 1990-an bisa dikatakan masa suram bagi Wayang Potehi. Itu dikarenakan tindakan yang cenderung represif penguasa pada masa itu terhadap kebudayaan kebudayaan Tionghoa. Padahal nilai-nilai budaya yang dibawa serta oleh para keturunan Tionghoa sejak berabad-abad lalu telah tumbuh bersama budaya lokal dan menjadi budaya Indonesia. Dalam masa suram itu, wayang Potehi seolah mengalami pengerdilan. Sangat sulit menemukan pementasannya saat itu. Apalagi jika bukan karena sulitnya mendapat perizinan. Namun setelah orde reformasi berjalan, tepatnya setelah pemerintahan Gus Dur, angin segar seolah menyelamatkan kesenian ini. Wayang Potehi bisa dipentaskan kembali dan tentu saja tidak dengan cara sembunyi-sembunyi. Begitu juga pertunjukan-pertunjukan seni tradisional khas China lainnya seperti Barongsai. Peminat pertunjukan inipun tidak hanya melulu kalangan masyarakat Tionghoa-nya saja, tetapi juga masyarakat pribumi. Beberapa dalang Wayang Potehi bahkan berasal dari suku-suku asli di Indonesia, yang sengaja mempelajarinya dan menjadikannya sebagai profesi.

No comments: