Thursday, February 12, 2009

Parakan... riwayatmu dulu....



Aku lahir di Parakan, di Kabupaten Temanggung. Kota kecil yang terletak di kaki gunung Su-Si (Sumbing - Sindoro). Walaupun aku lahir dan besar disitu, nggak banyak yang aku tau dari kota kelahiranku itu selain bahwa pada jaman perjuangan dulu banyak pejuang-pejuang dari segala penjuru kota datang ke kota ini membawa Bambu Runcing untuk didoakan oleh seorang Kyai disini yang bernama Kyai H. Subchi. Dari beberapa cerita aku juga denger bahwa dulunya pusat pemerintahan Tumenggungan itu bukan di Temanggung yang sekarang jadi ibukota Kabupaten, melainkan di Parakan ini. Parakan juga konon erat ceritanya dengan kisah seorang pendekar Shaolin yang melarikan diri dan menetap dan mengembangkan perguruan disitu.
Pagi tadi aku dan suamiku iseng-iseng ngobrol dengan ayahku. Awalnya suamiku yang nanya, kenapa walaupun tinggal di desa, keluargaku nggak seperti orang jawa jaman dulu, yang dalam bayangannya tinggal di kampung, miara perkutut, (halah!)masih terikat tatacara ini itu, aturan adat istiadat, unggah-ungguh, dan lain sebagainya. Ayahku cenderung demokratis dan berpikiran luas, pada jaman itu mungkin belum banyak orang ndeso di jawa yang sekolah sampai ke perguruan tinggi, tapi ayahku kuliah ke UGM.
Lalu berceritalah ayahku bahwa Parakan memang unik. Karakterisik kota kecil ini beda dengan kota-kota lain di sekitarnya, bahkan dengan Temanggung sekalipun, ibu kota kabupaten yang jaraknya hanya 13 km dari Parakan. Parakan mungkin juga banyak dipengaruhi oleh budaya etnis Tiong Hoa, karena konon dulunya salah satu dari 3 orang pelarian dari bangsa China bernama Lauw Djing Tie, menetap dan mengembangkan perguruan Shaolin di kota ini. Parakan sendiri dulunya adalah tanah perdikan yang dipimpin oleh seorang tumenggung. Pusat pemerintahannya dulu ada di daerah dekat Pasar Legi Parakan. Kata ayahku dulunya disitu ada alun-alun dan Tumenggungan. Dalam bayanganku mungkin tata kotanya hampir sama dengan karakteristik kota-kota jawa yang lainnya. Ada alun-alun sebagai ruang komunal, pasar, pusat pemerintahan, tempat peribadatan (masjid) dan biasanya di kota-kota yang lebih besar terdapat penjara di sekitar area tersebut. Naah, perguruan Shaolin, berada di daerah sekitar bioskop Parakan sekarang, dulunya konsentrasi pemukiman warga Tiong Hoa-nya pun juga nggak jauh-jauh dari situ, di Gambiran atau di Sebo Karang. Menurut ayahku juga, dulu ceritanya si pendekar Shaolin ini saingan ama pendekar lokal dari Kauman. Akhirnya terjadi konflik dan mereka sempet bertarung untuk membuktikan kedigdayaan masing-masing. Si pendekar Shaolin ini kalah, dan kemudian masyarakat Tiong Hoa disana mulai belajar hidup berdampingan dengan rukun dengan masyarakat pribumi. Rupanya pemikiran masyarakat pribumi Parakan juga akhirnya terpengaruh dengan banyaknya masyarakat Tiong Hoa disana, paling tidak mereka lebih terbuka dengan kebudayaan dari luar dan lebih berpikir luas untuk belajar dari orang lain. Begitulah....., makanya embahku dulu, walaupun wong ndeso selalu bilang pada ayahku untuk sekolah yang bener. Walaupun kakak-kakak ayahku nggak ada yang sekolah sampe tinggi karena keterbatasan biaya, tapi sebagai anak yang terkecil justru ayahku didorong untuk bisa berhasil menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan sampai perguruan tinggi. Kebetulan pakdenya juga tidak dikaruniai anak, jadi ayahku dijadikan anak asuhnya dan ikut pula membiayai sekolah ayahku, karena embah kakung meninggal waktu ayahku masih kecil.
Kembali lagi ke cerita tentang kota kelahiranku. Karena Parakan dulunya sebagai kota kecil yang banyak dikunjungi pejuang, maka pemerintah Belanda waktu itu juga menempatkan pasukannya disini. Akses ke kota kecil ini dapat ditempuh dengan menggunakan kereta api. Kata ayahku dulu pejuang-pejuang yang datang dengan kereta banyak sekali. Mereka bahkan naik ke atap gerbong karena kereta selalu penuh sesak. Sebelum akhirnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Temanggung, Parakan sudah dikenal oleh para pejuang seantero Jawa. Disinilah asal muasal Bambu Runcing yang digunakan sebagai senjata para pejuang untuk melawan penjajah Belanda waktu itu. Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Temanggung, Parakan berkembang menjadi pusat perdagangan, dengan toko-toko pecinan dan sentra perdagangan tembakau. Aku juga nggak tau kapan kereta api tidak diaktifkan lagi jalurnya ke Parakan, karena waktu aku SD, aku tidak menemukan lagi ada kereta dengan rute kesana. Stasiun Keretanyapun sudah kosong dan tidak terpakai lagi. Tapi kata ayahku, waktu iuku SMP, sekitar tahun 60-an, ibuku masih naik kereta pagi untuk berangkat sekolah ke SMP di Temanggung.
Jaman aku SD dulu, sekita tahun 70-an, masih inget banget, para juragan mbako (tembakau) di Parakan yang kaya raya karena keberhasilan panen waktu itu, sempet menyewa pesawat pribadi untuk nonton piala dunia ke Spanyol!! Para pedagang Tiong Hoa disini juga banyak yang berhasil secara financial dan menyekolahkan anak-anaknya ke luar, ke kota-kota besar, bahkan ke luar negeri.
Sayangnya keindahan aristektur etnis Tiong Hoa yang masih tersisa di Parakan lama-lama terkikis oleh modernisasi. Aku lihat perkembangan kota kecil ini cenderung nggak terencana dengan baik, jadinya ya semrawut disana-sini. Karena udah lama aku nggak pulang kesana, aku belum liat lagi gimana kondisi bangunan-bangunan indah yang dulu aku kagumi semasa kecilku. Kebetulan karena aku sekolah di sekolah swasta (SD Remaja, yang letaknya persis di belakang Klenteng Tri Darma / Hok Tek Tong), temenku justru mayoritas berasal dari etnis Tiong Hoa. jadi, kalo ada temen ulang tahun, aku bisa lihat beberapa masih menempati rumah-rumah bergaya arsitektur khas China dengan inner court di tengah dan rumah induk dibelakang. Bagian depan biasanya digunakan untuk berdagang atau sebagai tempat untuk menerima tamu bagi masyarakat Tiong Hoa yang bukan pedagang. Bentuk sekur dan ukiran-ukiran khas, dengan balok-balok kayu yang besar-besar untuk menopang struktur atap, atau bahkan hiasan-hiasan keramik dan kerawangan yang mungkin memang didatangkan khusus dari negeri Tiongkok menghiasi rumah tinggal mereka, aku tau barang-barang itu pasti sudah tua umurnya. Mungkin masih ada yang tersisa sekarang, tapi banyak juga yang sudah hilang karena dimakan usia atau kalah oleh perubahan jaman. Inginnya kembali kesana untuk napak tias pengalaman masa kecilku dulu... tapi kapan sempetnya ya....:(


5 comments:

adimulya said...

Little China town Parakan, mari kita bangkiiiiiit...

Anonymous said...

Akhirnya, mendapatkan apa yang saya cari! Saya pasti menikmati setiap sedikit itu. Senang aku tersandung ke dalam artikel ini! senyum saya harus Anda simpan untuk memeriksa hal-hal baru yang Anda posting.

Anonymous said...

Sebagai Newbie, saya selalu mencari online untuk artikel yang bisa membantu saya. Terima kasih Wow! Terima kasih! Saya selalu ingin menulis dalam sesuatu situs saya seperti itu. Dapatkah saya mengambil bagian dari posting Anda ke blog saya?

okaasan said...

semuanya.....makasih sudah mampir
silahkan ambil apa yang perlu...
semoga berguna

Anonymous said...

Terima kasih untuk hal-hal yang baik