ini sih share aja..berbagi pengalaman menggeluti dunia kerja sebagai perencana...., ternyata kadang bikin makan ati juga. Rupanya tidak semua orang, bahkan yang nota bene sudah malang melintang dan bergelar tinggi, yang perduli pada apa itu yang namanya etika profesi. Syukur Alhamdulillah, bahwa ketika keluar dari pendidikan dan bergelut di bidang desain sampai sekarang kita masih berusaha mentaati rambu-rambu etika... Yah paling tidak, orang-orang disekitar lingkungan deketku nggak ikut-ikutan sikut sana sini biar bisa dapetin proyek dengan cara yang tidak beradab. Buat kita... klien, bagaimanapun watak dan kelakuannya, tetep customer yang harus dilayani dengan baik. Untung juga karena dunia disekitarku nggak mengajarkan untuk berbuat culas...
Tapi... yang namanya ketemu orang-orang yang menganggap sepele profesi kita dan menghargai "murah" karya cipta orang laen mah udah biasaaa... Sebenernya bukan melulu materi yang dipermasalahkan, tapiii... masak iya sih jerih payah kita dibayar segitu? bahkan setelah bolak-balik kesana-sini malah kadang cuman diganti buat ongkos transport.. :( nasiiib...nasiiib... cuman bisa geleng-geleng kepala...Atau ada juga kadang-kadang cuman ngeliat hasil produk dan menghargainya dengan harga sekian rupiah perlembarnya.... emangnya kita drafter buuu :(
Pernah sekali waktu, udah ada kesepakatan untuk bikin desain perumahan... deal dengan harga sekian.. Waah, setelah kita sepakat... udah tuh kita kerjain semuanya.. udah gitu orangnya minta cepet lagi.. katanya supaya proses ke bank-nya juga lancar.... Apa mau dikata.. begitu gambar jadi, baru juga dibayar DP 30 %, katanya proyek-nya nggak jadi dibangun... jadi sisa biaya desain-pun belum bisa dibayarkan. Janji mereka, kalau nanti suatu saat pembangunan jalan lagi, bakalan diselesaikan sisa pembayarannya.... Tapi setelah beberapa tahun berjalan dan perumahan itu bener-bener dibangun mereka udah lupa tuuh ama janjinya...
Laen lagi cerita seorang teman di dunia maya, yang pakai jasa arsitek untuk bikin rumahnya. Dia udah bikin kesepakatan untuk membayar si arsitek tersebut sekian persen dari biaya konstruksi, termasuk didalamnya pengawasan berkala selama proyek dibangun sebanyak sekian kali. Tapi begitu desain selesai dan proyek berjalan si arsitek ini tiap di telpon bilangnya sibuk mulu. Dimintai advise dan diminta datang bilangnya lagi repot ngawas proyek yang laen. Sampai akhirnya si yang punya rumah kesel, dan bayar semua sisa pembayaran lalu bilang bye-bye.. Lebih baik begitu dari pada makan ati..., katanya (semoga aku tidak termasuk golongan yang seperti ini he he)
Pengalaman terakhir ketika menang sayembara desain yang diselenggarakan oleh Pemda si salah satu kota di negeri ini. Pemda memutuskan untuk menunjuk salah satu konsultan untuk mengerjakan DED-nya... maka ditunjuklah salah satu konsultan terpercaya yang diminta untuk berkoordinasi dengan pemenang desain (tim kami). Sempet dipanggil 3 kali ke kantor mereka. Yang pertama dipertemukan olah tim pembangunan dari Pemda kota ybs, yang udah wanti-wanti supaya salah seorang dari tim pemenang loma dilibatkan dalam proses pengerjaan DED. Kebetulan chief architect kita tidak bisa ikut terlibat karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, jadi beliau menunjuk salah satu anggota tim untuk mewakilinya. Tapi rupanya konsultan terkemuka yang dipimpin oleh Profesor anu, yang katanya karyanya sudah tersebar diseantero nusantara ini, mencoba menginterprestasikan kembali desain kami. Yang sayangnya mencoba memasukkan komponen-komponen yang menjadikan desain awal jadi berubah total. (ini kita dapet informasi dari panitia, soalnya setelah proses DED berjalan kita tidak lagi dilibatkan. Dan ketika panitia mempermasalahkan perubahan desain mencoba mengontak kita lagi untuk menanyakan kenapa bisa jadi seperti itu). Usut punya usut ternyata si konsultan ini tadinya ikut juga jadi peserta lomba tetapi tidak dapat nominasi menjadi pemenangnya... Apakah ini yang menjadi sebab mereka berusaha memasukkan ide-ide mereka ke dalam desain yang baru yaa?
Buat kita perubahan desain pada waktu akan dilaksanakan konstruksinya ,sebenarnya tidak jadi masalah lagi. Ketika kita dinyatakan sebagai pemenang lomba dan akhirnya tidak mengerjakan gambar kerjanya, kita anggap bahwa desain itu sudah jadi milik pemda. Jadi pemda berhak untuk membuat perubahan, mengganti atau menambahkan apa yang mereka anggap perlu di dalam desain. Soalnya.. kita tahu laah, kapasitas penyajian untuk lomba kan tidak selengkap gambar di proyek. Masih ada ini itu yang harus disesuaikan dan disinkronisasikan dengan kondisi di lapangan. Cumaa.. yang jadi masalah.. ini si pemda nggak mau desain yang laen. Mereka maunya yaa seperti yang menang lomba kemaren.. nah lo! akhirnya gambar DED itu dirubah kembali disesuaikan dengan desain awal milik kami.
Sangat disayangkan bahwa seseorang yang katanya sudah bergelar profesor dan sudah lama malang melintang didunia perencanaan ini mengambil sikap seperti itu. Apa beliau lupa pada etika berprofesi yang baik, hanya karena ego-nya sendiri kah? Tidak terima dikalahkan oleh kami-kami ini, yang mungkin dianggap belum punya nama apa-apa di dunia ke-arsitekturan di tanah air... Apa iya beliau mencoba bertepuk dada sambil berseru "Ini loh gue... gue juga bisa bikin yang lebih bagus dari karya pemenang!". Masalahnya disini bukan bagus dan tidak bagus, pemda dan panitia sayembara sudah memutuskan dan mereka rupanya sudah mengangan-angankan bakal punya gedung seperti yang kami desain. Jadi... selayaknyalah kita sesama profesi arsitek menghargai karya intelektual orang lain.. ya khan?
Jadi... kalau orang bilang bahwa orang yang sekolah-nya tinggi, berpangkat dan berkedudukan lebih bisa menghargai profesi orang, dan memperhatikan etika ketika ia berprofesi, ternyata tidak benar... Etika profesi tidak bisa ditentukan dari tinggi rendahnya pangkat, kedudukan atau pendidikan seseorang. Etika profesi datang dari hati yang ikhlas. Karena dengan ikhlas maka kita relakan apa yang sudah kita kerjakan untuk kita dudukkan pada tempat yang benar, Kita hargai orang laen yang berpartner dengan kita sederajat dan sama kedudukannya dengan kita. Dan kita menjaga agar hubungan dengan siapapun yang bekerja dengan kita, bisa selaras dan seimbang, harmonis dan saling menghargai, seperti layaknya kita juga ingin dihargai dengan profesi kita. Menghargai hasil kerja orang lain tidak akan merendahkan derajat kita dimata orang kok... justru orang malah akan lebih respect karena kita bisa lebih oyektif dan bijak dalam menyikapi permasalahan dalam dunia profesi.
Tapi... yang namanya ketemu orang-orang yang menganggap sepele profesi kita dan menghargai "murah" karya cipta orang laen mah udah biasaaa... Sebenernya bukan melulu materi yang dipermasalahkan, tapiii... masak iya sih jerih payah kita dibayar segitu? bahkan setelah bolak-balik kesana-sini malah kadang cuman diganti buat ongkos transport.. :( nasiiib...nasiiib... cuman bisa geleng-geleng kepala...Atau ada juga kadang-kadang cuman ngeliat hasil produk dan menghargainya dengan harga sekian rupiah perlembarnya.... emangnya kita drafter buuu :(
Pernah sekali waktu, udah ada kesepakatan untuk bikin desain perumahan... deal dengan harga sekian.. Waah, setelah kita sepakat... udah tuh kita kerjain semuanya.. udah gitu orangnya minta cepet lagi.. katanya supaya proses ke bank-nya juga lancar.... Apa mau dikata.. begitu gambar jadi, baru juga dibayar DP 30 %, katanya proyek-nya nggak jadi dibangun... jadi sisa biaya desain-pun belum bisa dibayarkan. Janji mereka, kalau nanti suatu saat pembangunan jalan lagi, bakalan diselesaikan sisa pembayarannya.... Tapi setelah beberapa tahun berjalan dan perumahan itu bener-bener dibangun mereka udah lupa tuuh ama janjinya...
Laen lagi cerita seorang teman di dunia maya, yang pakai jasa arsitek untuk bikin rumahnya. Dia udah bikin kesepakatan untuk membayar si arsitek tersebut sekian persen dari biaya konstruksi, termasuk didalamnya pengawasan berkala selama proyek dibangun sebanyak sekian kali. Tapi begitu desain selesai dan proyek berjalan si arsitek ini tiap di telpon bilangnya sibuk mulu. Dimintai advise dan diminta datang bilangnya lagi repot ngawas proyek yang laen. Sampai akhirnya si yang punya rumah kesel, dan bayar semua sisa pembayaran lalu bilang bye-bye.. Lebih baik begitu dari pada makan ati..., katanya (semoga aku tidak termasuk golongan yang seperti ini he he)
Pengalaman terakhir ketika menang sayembara desain yang diselenggarakan oleh Pemda si salah satu kota di negeri ini. Pemda memutuskan untuk menunjuk salah satu konsultan untuk mengerjakan DED-nya... maka ditunjuklah salah satu konsultan terpercaya yang diminta untuk berkoordinasi dengan pemenang desain (tim kami). Sempet dipanggil 3 kali ke kantor mereka. Yang pertama dipertemukan olah tim pembangunan dari Pemda kota ybs, yang udah wanti-wanti supaya salah seorang dari tim pemenang loma dilibatkan dalam proses pengerjaan DED. Kebetulan chief architect kita tidak bisa ikut terlibat karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, jadi beliau menunjuk salah satu anggota tim untuk mewakilinya. Tapi rupanya konsultan terkemuka yang dipimpin oleh Profesor anu, yang katanya karyanya sudah tersebar diseantero nusantara ini, mencoba menginterprestasikan kembali desain kami. Yang sayangnya mencoba memasukkan komponen-komponen yang menjadikan desain awal jadi berubah total. (ini kita dapet informasi dari panitia, soalnya setelah proses DED berjalan kita tidak lagi dilibatkan. Dan ketika panitia mempermasalahkan perubahan desain mencoba mengontak kita lagi untuk menanyakan kenapa bisa jadi seperti itu). Usut punya usut ternyata si konsultan ini tadinya ikut juga jadi peserta lomba tetapi tidak dapat nominasi menjadi pemenangnya... Apakah ini yang menjadi sebab mereka berusaha memasukkan ide-ide mereka ke dalam desain yang baru yaa?
Buat kita perubahan desain pada waktu akan dilaksanakan konstruksinya ,sebenarnya tidak jadi masalah lagi. Ketika kita dinyatakan sebagai pemenang lomba dan akhirnya tidak mengerjakan gambar kerjanya, kita anggap bahwa desain itu sudah jadi milik pemda. Jadi pemda berhak untuk membuat perubahan, mengganti atau menambahkan apa yang mereka anggap perlu di dalam desain. Soalnya.. kita tahu laah, kapasitas penyajian untuk lomba kan tidak selengkap gambar di proyek. Masih ada ini itu yang harus disesuaikan dan disinkronisasikan dengan kondisi di lapangan. Cumaa.. yang jadi masalah.. ini si pemda nggak mau desain yang laen. Mereka maunya yaa seperti yang menang lomba kemaren.. nah lo! akhirnya gambar DED itu dirubah kembali disesuaikan dengan desain awal milik kami.
Sangat disayangkan bahwa seseorang yang katanya sudah bergelar profesor dan sudah lama malang melintang didunia perencanaan ini mengambil sikap seperti itu. Apa beliau lupa pada etika berprofesi yang baik, hanya karena ego-nya sendiri kah? Tidak terima dikalahkan oleh kami-kami ini, yang mungkin dianggap belum punya nama apa-apa di dunia ke-arsitekturan di tanah air... Apa iya beliau mencoba bertepuk dada sambil berseru "Ini loh gue... gue juga bisa bikin yang lebih bagus dari karya pemenang!". Masalahnya disini bukan bagus dan tidak bagus, pemda dan panitia sayembara sudah memutuskan dan mereka rupanya sudah mengangan-angankan bakal punya gedung seperti yang kami desain. Jadi... selayaknyalah kita sesama profesi arsitek menghargai karya intelektual orang lain.. ya khan?
Jadi... kalau orang bilang bahwa orang yang sekolah-nya tinggi, berpangkat dan berkedudukan lebih bisa menghargai profesi orang, dan memperhatikan etika ketika ia berprofesi, ternyata tidak benar... Etika profesi tidak bisa ditentukan dari tinggi rendahnya pangkat, kedudukan atau pendidikan seseorang. Etika profesi datang dari hati yang ikhlas. Karena dengan ikhlas maka kita relakan apa yang sudah kita kerjakan untuk kita dudukkan pada tempat yang benar, Kita hargai orang laen yang berpartner dengan kita sederajat dan sama kedudukannya dengan kita. Dan kita menjaga agar hubungan dengan siapapun yang bekerja dengan kita, bisa selaras dan seimbang, harmonis dan saling menghargai, seperti layaknya kita juga ingin dihargai dengan profesi kita. Menghargai hasil kerja orang lain tidak akan merendahkan derajat kita dimata orang kok... justru orang malah akan lebih respect karena kita bisa lebih oyektif dan bijak dalam menyikapi permasalahan dalam dunia profesi.