Kalau anda ke Cirebon, di Pasar Perumnas tiap pagi anda akan menemui seorang wanita sederhana, penjual gudeg di depan pintu pasar "Gudeg Bu Menik". Tidak ada yang spesial di gudeg Bu Menik, tapi paling tidak kalu saya kepingin menikmati masakan khas yogya ini, saya kadang mengajak suami untuk sekedar mencicipi masakan gudegnya. Bu Menik berjualan di depan pasar Perumnas tiap pagi sampai sekitar jam 9 dan pada sore harinya dia berjualan di depan SMA 3 di daerah Perumnas juga tidak jauh dari pasar Perumnas tadi. Keramah tamahan khas jawanya selalu menggoda saya untuk mengajaknya ngobrol sambil menikmati gudegnya. Tidak ada yang spesial dari obrolan kami sampai suatu kali saya iseng menanyakan perihal kedatangannya ke kota Cirebon.
"Sudah berapa tahun di Cirebon bu" tanya saya
" Sampun 5 tahun mbak, sak sampunipun bapakipun lare2 tilar donya lajeng dalem pindah mriki"
" Lha wonten cirebon wonten sedherek nopo? Kok lajeng pindah mriki"
" Mboten mbak........" Lalu dia menceritakan tentang kisah hidupnya sepeninggal almarhum suaminya. Dengan 5 orang anak yang masih kecil-kecil dia merasa hidup di kota Yogya terlalu berat baginya. " Dalem sagedipun nggih mung ndamel gudeg kados niki, ning menawi dagangipun wonten mriko rak nggih kathah ingkang dagang kados niki, mangke malah mboten payu" ujarnya. Lalu dia mengumpulkan seluruh anak-anaknya untuk berembug. Dia mengutarakan keinginannya untuk hijrah dari Yogya untuk berjualan gudeg di kota lain. " Lha, Nabi Muhammad saja pernah hijrah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota lain. Mungkin saya juga dapat memperbaiki nasib saya dengan hijrah ke kota lain" sambungnya. Dia meminta anak-anaknya untuk menentukan pilihan ke kota mana mereka akan pindah. Pilihan jatuh ke tiga kota Jakarta, Bogor atau Cirebon. " Lalu kenapa akhirnya Cirebon yang dipilih?" tanya saya penasaran. "Lha nggih niku diundi kados arisan, pokoke dalem mung sanjang le, nduk, pokoke hasile opo wae kudu ditrimo. Mugo-mugo niate awake dhewe iki diridhoi kang gawe urip, diparingi dalan kang luwih apik kanggo ngragati awakmu kabeh" Lalu mereka mengocok gulungan kertas yang telah ditulis dengan 3 nama kota tersebut, dan ketika dijatuhkan keluarlah nama Cirebon!. Akhirnya dengan berbekal tabungan yang ada dan sedikit uang untuk mengontrak rumah mereka pergi ke Cirebon. Untunglah ada tetangga yang telah mengenal Cirebon sebelumnya, dan menyarankan kepadanya untuk berjualan di aderah Perumnas. "Lha, sak derengipun nate tindak Cirebon bu?" tanya saya lagi " Nggih dereng mbak, lha pokoke niate bismillah mawon, dalem namung pasrah, mugi2 diparingi rejeki kangge ngragate lare2" sambungnya sambil tersenyum. "Lha nggih alhamdulillah wonten mriki diparingi sehat, diparingi rejeki kangge nyekolahke lare2, sak niki sing paling ageng sampun nyambut damel wonten Jakarta, adik-adikipun sekolah wonten mriki". Aku tertegun mendengar ceritanya, kepasrahan dan keberaniannya menghadapi hidup dengan hanya menyerahkan semuanya pada yang Kuasa. Mungkin hal yang kedengarannya sepele bagi sebagian orang, tapi keputusan untuk hijrah dengan membawa semua anaknya, keberanian dan ketegarannya untuk bertahan hidup sepeninggal suaminya dengan memutuskan pergi ke kota lain yang sama sekali belum pernah dikenalnya adalah suatu lompatan kecil yang dia yakini akan mengantarnya ke kehidupan yang lebih baik, merupakan keputusan yang mungkin tidak semua orang dapat melakukannya dengan pemikiran sesederhana itu. Satu lagi yang saya pelajari dari Bu Menik, ilmu ikhlas .................