Friday, July 10, 2009

Sumbing - Sindoro




Setelah sekian lama nggak pulang kampung, akhirnya kesempatan untuk kembali ke tanah kelahiranku datang juga. Ngepasin ama acara Reuni Akbar SMA-ku di Temanggung, kami (aku, adikku dan 2 keponakanku) berangkat dari Cirebon dengan harapan bisa kembali melihat keindahan alam desa yang tenang dan damai. Acara Reuni Akbar memang meriah, apalagi bisa ketemu temen-temen lama yang bahkan dari lulus SMA sampai sekarang nggak pernah ketemu. 22 tahun.. waktu yang cukup lama untuk bisa mengubah diri seseorang, terutama timbangannya he he. Rata-rata semua udah nambah berat badan dan jadi kelas berat, termasuk dirikyu... Jadi aku nggak usah minderlaaah jika badan bertambah tambun, masih banyak yang beratnya melebihi aku he he. Selesai reuni kami melewati rute Temanggung-Wonosobo-Purwokerto-Bumiayu-Ketanggungan-Cirebon. Sengaja pilih jalur tengah karena jalur utara sedang banyak perbaikan jalan. Beberapa teman yang pulang dari Jakarta lewat jalur utara terjebak macet dan menunggu ber-jam-jam untuk bisa sampai ketempat tujuan.
Melewati daerah Paponan-Tlahab-Kledung sampai Kretek, pandangan tidak lepas dari kemegahan gunung kembar Sindoro-Sumbing. Apalagi cuaca hari itu cukup cerah sehingga Gunung Sumbing tampak gagah dipayungi awan diatasnya. Gunung Sindoro yang agak tertutup kabut tak kalah indahnya. Musim tembakau hampir tiba, dimana-mana tanaman tembakau mendominasi ladang-ladang petani, berselingan dengan tanaman sayuran dan palawija. Rupanya masyarakat belum bisa meninggalkan tanaman yang satu ini untuk ditanam secara masal, walaupun larangan merokok sudah disebar kemana-mana. Produksi rokok-pun juga mulai dibatasi, tetapi tetap saja para petani masih menggantungkan hidup dari bertanam tembakau. Entah memang sudah jadi tradisi yang susah untuk dilepaskan atau memang karena keenganan mereka untuk menanam tanaman lain? entahlah... Padahal beberapa tahun lalu karena harga tembakau anjlog, beberapa kali petani terpaksa merugi. Belum lagi kerugian akibat ulah tengkulak-tengkulak yang seenaknya mempermainkan harga. Walaupun kabarnya dinas pertanian-pun sudah menyarankan untuk beralih ke tanaman lain, tetap saja mereka masih bersemangat untuk menanamnya.
Ingatanku jadi melayang ke masa-masa kecil-ku sewaktu masih SD dulu. Pada waktu itu lagi jaya-jayanya petani tembakau. Apalagi jika mereka mendapatkan panen Tembakau Srintil. Tembakau yang dipercaya memiliki kualitas tertinggi pada waktu itu. Harga jual melambung bahkan pada tahun 70-an sekilonya bisa mencapai 70 ribu rupiah. Bayangkan saja.. tiap musim tembakau berhasil, para petani bagaikan mendapatkan harta karun. Kekayaan dari hasil menjual tembakaunya mereka pakai untuk membeli barang-barang mewah dan membangun rumah mereka dengan megah. Bahkan terceritakan pada waktu itu, ada sebuah desa yang belum dialiri listrik, sampai-sampai mengumpulkan biaya secara swadaya untuk membeli tiang listrik dan kabel-kabelnya untuk dialirkan ke desa mereka. Padahal desa mereka boleh dikatakan tidak dekat dengan jalan raya tempat aliran listrik utama. Cukong-cukong tembakau-pun tak kalah makmurnya. Sewaktu ada penyelenggaraan Piala Dunia di Spanyol, mereka mencarter pesawat pribadi untuk menonton live pertandingan disana.
Tapi... itu dulu.. sekarang harga tembakau anjlog, bahkan pernah hanya 10 ribu sekilonya. Petani merugi, dan daripada memanen tembakaunya mereka lebih melilih membuangnya. Biaya buruh panen dan rajang tembakau lebih besar daripada harga jual tembakaunya. Kasihan mereka... tapi toh tahun berikutnya mereka tetap saja tidak kapok, dan menanam lagi. Berharap hasil panen lebih baik dan harga bisa diperbaiki. Memang, menanam tembakau gampang-gampang susah. Tanaman ini begitu tergantung dengan cuaca. Jika terlalu banyak hujan daunnya busuk, terlalu panas-pun jadi kering. Pada masa panen-pun tembakau yang bagus harus bisa kering dalam sehari. Tak heran jika musim panen tiba, para petani tembakau membawa truk-truk pengangkut tembakau rajangnya mencari daerah yang lebih panas untuk menjemurnya. Biasanya pada waktu-waktu seperti itu jangan harap mendapatkan lapangan terbuka untuk main sepakbola. Pasti sudah dipenuhi dengan rigen-rigen tempat menjemur rajangan tembakau. Bahkan mereka bisa mencari panas sampai ke daerah Magelang sana.
Gunung Sindoro dan Sumbing tak kalah merananya karena aktivitas petani tembakau ini. Lihat saja.. punggung gunung sudah semakin botak lantaran ditanamai dan dijadikan ladang tembakau. Kemana hutan-hutan yang menghijau sebelumnya? Yang menyelimuti punggung gunung dengan daunnya. Mungkin beberapa spesies fauna dan habitatnya juga ikut musnah karenanya. Padahal semasa SMP dan SMA dulu aku masih sering mendengar ada orang yang diserang harimau jawa atau harimau kumbang di lereng kedua gunung ini. Apakah sekarang keberadaan mereka masih bisa ditemukan ya? Semoga saja belum punah....
Untungnya beberapa LSM juga mulai giat menyuarakan peghijauan. Sebut saja Yayasan Dian Permata Insani (DIPERSANI) yang bergerak dibidang pelestarian lingkungan disekitar wilayah Sumbing-Sindoro. Juga Kang Mukidi yang aktif berjuang ngopeni alas. Mudah-mudahan kedepan hutan di wilayah Sindoro-Sumbing bisa kembali hijau...