Monday, July 7, 2008

Indahnya Panorama Gunung Ciremai



Gunung Ciremai sebagai salah satu gunung berapi di Jawa Barat, cukup dikenal masyarakat bukan hanya dari keanggunannya tapi juga dari cerita-cerita mistis yang melegenda di kalangan masyarakat sekitar gunung ini. Gunung ini sudah lama tidak menunjukkan tanda-tanda aktif, tapi terceritakan pada sekitar tahun 1930-an gunung ini pernah mengeluarkan letusan kecil. Seperti digunung-gunung lainnya di pulau Jawa, setiap tanggal 17 Agustus dan tanggal 1 Muharram banyak orang yang mendaki gunung ini. Yang pertama karena bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, maka tidak sedikit para pendaki yang mengadakan upacara peringatan disana pada saat fajar, dan yang satunya bertepatan dengan tahun baru Islam, atau biasa dikenal dengan tangal 1 bulan Suro, pada penanggalan Jawa. Salah satu bulan sakral dalam penanggalan Hijriah. Panorama pegunungan dan dataran tinggi yang indah menyebabkan daerah-daerah di kaki gunung ini dijadikan sebagai tempat wisata, dengan menawarkan view ke arah gunung dan lembah disekitarnya. Di kuningan ada Kawasan Linggar Jati dan Sangkan Hurip, yang dikembangkan sebagai kawasan wisata alam. Lengkap dengan hotel dan villa untuk peristirahatan. Paling tidak keberadaan gunung ini bisa ikut mengangkat taraf hidup masyarakat sekitar dengan membuka peluang usaha disekitar daerah wisata. Dan kalau kita memandang kearah gunung, memang panorama yang ditawarkan bener-bener indah, apalagi jika matahari mulai tenggelam. Bayangan gunung yang berdiri angkuh dengan latar belakang langit yang mulai memerah terlihat indah. Tidak hanya dilihat dari daerah pegunungan dan lembah di sekitar gunung, tapi juga bisa dilihat dari pantai Kejawanan di Cirebon. Dan inilah panorama indah yang berhasil kuabadikan. Satu aku ambil waktu perjalanan pulang dari Kuningan dan satu lagi waktu dari pantai Kejawanan. Sunset dengan latar belakang Gunung Ciremai................

Friday, July 4, 2008

Masjid Agung Demak, semoga nggak merana dimakan usia


Masjid Agung Demak, salah satu masjid wali yang masih berdiri kokoh sampai sekarang. Masjid ini dibangun pada masa kejayaan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Seperti masjid-masjid jaman dulu yang mengadaptasi arsitektur lokal, maka bentuk atap masjid ini berbentuk tajug tiga susun. Biasanya pemahaman simbolisme dalam pembuatan masjid ini dikaitkan dengan ketentuan dalam syariah Islam (pemahaman syar'i) dan penyesuaian dan pemikiran berdasarkan telaah tafsir (pemahaman sufi). Pemahaman syar'i misalnya menganut ketentuan syariah yang mengharuskan masjid menghadap kearah kiblat, penentuan shaft sholat dan persyaratan adanya tempat untuk melakukan wudlu sebelum sholat dilakukan. Pemahaman sufi terkait dengan beberapa simbol seperti misalnya :
- pemilihan bentuk atap yang memuncak menuju satu titik, yang mengisyaratkan kepada
keesaan Allah
- Pilihan atap bersusun tiga yang mengekspresikan nilai Iman, Islam dan Ikhsan
- Bentuk cungkup nanasan yang merupakan refleksi dari surat An-Nas
- Pembuatan menara / minaret untuk tempat muazin mengumandangkan azan sebagai
panggilan sholat
- dll
Di masjid Demak, nilai-nilai tradisional dari budaya Hindu dan Jawa yang berkembang sebelumnya juga diaopsi dalam pemilihan bentuk arsitekturnya. Hal ini merupakan salah satu pendekatan dari Sunan Kalijaga yang mengajarkan Islam di tanah Jawa dengan memanfaatkan budaya lokal sebagai sarana untuk menyampaikan dakwah. Tidak heran jika di depan Masjid Demak kita bisa menemukan Chandra Sengkala yang menunjukkan tahun berdirinya masjid ini. Di dalam tradisi masyarakat Jawa Chandra Sengkala atau Surya Sengkala biasa dipakai untuk menggambarkan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada suatu waktu. Chandra Sengkala dipakai untuk menunjukkan tahun dalam perhitungan Tahun Jawa / Tahun Saka (Chandra = bulan, tahun Jawa/ Saka diperhitungkan berdasarkan peredaran bulan) dan Surya Sengkala dipakai untuk menunjukkan tahun dalam perhitungan tahun Masehi (Surya = matahari ; tahun masehi menggunakan perhitungan berdasarkan lamanya bumi mengelilingi matahari). Tiap-tiap angka mempunyai simbol dan menggambarkan nilai atau arti tertentu yang dapat dikaitkan dengan peristiwa yang bersangkutan. Selain itu biasanya juga dibuat Memet atau simbol berupa bentuk atau gambar tertentu untuk melambangkan peristiwa pada suatu waktu. Di Masjid Demak ini kita juga akan menjumpai "Memet" dalam bentuk kura-kura yang terdapat dibawah susunan atap teratas dari Masjid Agung Demak. Memet berbentuk kura-kura ini merupakan simbol dari angka tahun 1411, tahun dimana Masjid ini didirikan. (kura-kura mempunyai 1 kepala, 4 kaki, 1 tempurung/ bathok dipunggungnya dan 1 ekor).
Masjid-nya sendiri ditopang oleh 4 buah saka guru, salah satunya adalah saka tatal, yang konon dibuat oleh Sunan Kalijaga dengan mengumpulkan tatal dan menyatukannya menjadi sebuah tiang. Disamping itu ada 8 buah tiang lainnya yang dibuat dari beton, yang merupakan saka panamping. Dulu, waktu ada kesempatan ngobrol sama Pak Fanani (salah satu pemerhati dan pakar arsitektur masjid tanah air, dan kita anggap sebagai salah satu "suhu" kita) beliau pernah bilang bahwa Masjid Demak merupakan pasangan dari Masjid Cirebon. Jadi pada waktu mendirikan kedua masjid tersebut waktunya bersamaan. Satu dibangun di Demak di bawah pimpinan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga dan satu di Cirebon dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati. Bisa jadi ini juga yang membuat kedua masjid ini mempunyai bentuk yang agak berbeda. Kalau dilihat dari bentuk luarnya Masjid Demak terlihat lebih tinggi dan kekar, sedangkan masjid Cirebon dibuat lebih pendek. Selain itu di Demak Atapnya berbentuk Tajug, sedangkan di Cirebon berbentuk limasan. Mungkin saja ini merupakan refleksi dari sifat lelaki dan perempuan. Masjid Demak berwatak lelaki dan Masjid Cirebon berwatak perempuan. dan di Cirebon kita juga akan menjumpai Saka Tatal seperti yang terdapat di Masjid Demak.
Di sekitar komplek Masjid Demak kita bisa menemukan makam raja-raja Demak jaman dahulu, yaitu Raden Patah, Sultan Trenggana dan Pati Unus.
Kalau di Cirebon makam raja-raja Cirebon terpisah jauh dari Masjid dan Keratonnya. Letaknya di Gunung Sembung, atau biasa dikenal dengan Astana Gunung Jati. Disini merupakan makam dari Sunan Gunung Jati yang juga merangkap sebagai Sultan di Keraton Cirebon beserta keluarganya. Makam raja-raja Cirebon sesudahnya berada di Gunung Sembung terpisah dari Astana Gunung Jati. Biasanya pada waktu muludan akan diadakan arak-arakan "panjang jimat "
dari Keraton Cirebon sampai ke Gunung Sembung.
Kembali ke Demak......., agak mengherankan juga buat aku, karena Kesultanan Demak yang dulunya begitu banyak pengaruhnya pada penyebaran agama Islam di Jawa hampir nggak ada bekasnya. Dimana letak bekas keraton-nya aja masih dalam pencarian. Nggak seperti di Cirebon yang keraton-nya masih eksis sampai sekarang, walaupun keraton lamanya tinggal situs yang sudah hancur, tapi jejaknya masih terlihat di Pakungwati. Begitu pula Kesultanan Banten, yang juga tinggal situs tapi masih bisa dilihat reruntuhan Keraton Kaibon di dekat Masjid Banten sekarang. Apa ya nggak ada upaya pencarian dari ahli arkeologi atau ahli sejarah gitu ya? masak sampai sekarang belum ketemu ketemu juga ......
Mungkin masalah klise... pendanaan ... yang jadi sebab. Yah paling tidak peninggalan yang ada sekarang mesti dijaga jangan sampai hilang musnah nggak ada bekasnya. Soalnya permasalahan klise kaya begini yang bikin beberapa bangunan cagar budaya di negeri ini jadi merana. Sama aja waktu lihat kondisi Masjid Demak, yang walaupun sudah jauh lebih baik karena ada penataan disana-sini, tetep aja ada beberapa sudut yang masih terlihat nggak kena sentuhan pemeliharaan. Semoga aja pihak-pihak yang bersangkutan cepet sadar agar bangunan ini nggak dibiarkan merana dimakan usia....